14 June 2006

Dan Metafora Tak Sanggup Lagi Merumuskan Kenyataan

Sudah masuk musim panas. Kau merasa butuh udara baru untuk bernafas. Di negeri yang kau singgahi ini kau merasa kehilangan kepekaan. Deras laju informasi yang membanjir dari layar monitor membuat kepalamu penuh sampah. Mereka bilang itu informasi, bagimu hanyalah gejala-gejala voyeurisme ganjil yang diam-diam mulai menggerogoti hati.

"Om, ga ikut keluar? Ada Sheva lho,"
Sialan! Ucapmu kesal. Jika kau merasa penat sekarang, bukan karena lembar-lembar diktat yang masih ingin disenggamai. Penatmu adalah ingatan yang memutar ulang film Gladiator. Disana mereka mendirikan bangunan-bangunan besar. Yang terbesar diberi nama Colosseum, disana mereka mengadakan pertarungan-pertarungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan binatang, binatang dengan binatang. Saat itu rakyat merayakan histeria tanpa sadar ada yang hilang dari apa yang mereka setorkan sebagai pajak. Di sini sejarah terulang lagi. Manusia masih saja berteriak dan hanyut dalam euforia merayakan lupa.

"Wah, anda bukan homo ludens ya?"
Tiba-tiba kau ingin sekali meluapkan amarah. Bermain adalah bermain. Apa salahnya memilih sendiri di beranda rumah? Bermain bersama kertas dan pena. Menjaring kata dan merangkainya menjadi baris-baris yang tertata?

"Jangan terlalu serius. Nanti cepat aus,"
Kau semakin muak sekarang. Kenapa orang-orang jadi begitu sok tahu apa yang sedang berlaku? Apa sih yang mereka mau, pikirmu. Sementara saat ini kau sedang istirahat; bermain-main dengan koma, titik, dan banyak tanda baca lainnya.

"Pengarang sudah mati."
Ha..ha..ha.., siapa tadi yang bicara? Ucapmu sembari tertawa. Kau hanya merakit kata, bukan menulis novel tentang lelaki yang patah hati setelah sekian lama mencari Tuhan, namun akhirnya menemukanNya di sesela desah nafas perempuan di pinggir jalan.

"Orang seperti kamu sudah banyak. Jangan sok aksi. Nanti cepat basi."
Bukankah orang yang arogan justru lebih banyak? Mereka merasa tahu siapa kita. Menghakimi kita dengan kartu ini dan itu. Memangnya hidup ini sepakbola? Kok ada yang merasa perlu jadi wasit segala?

Ah, langit sudah hitam. Kau bertanya kepada beberapa kawan kapan mereka terakhir melihat kunang-kunang? Kebanyakan bilang masih bertemu kunang-kunang satu dua tahun lalu. Kau merasa iri. Terakhir kali kau bertemu kunang-kunang delapan atau tujuh tahun yang lalu. Itupun bukan di halaman rumah. Kau harus melangkahkan kaki ratusan kilo menuju sawah di desa di mana ibumu dibesarkan.

"Kenapa sih bertanya tentang kunang-kunang?"
Sebab ia tetap berkedip. Meski malam telah larut.

1 comment:

Anonymous said...

Beberapa waktu lalu ada seseorang ibu yang bertanya padaku, barangkali seperti ini bila saya coba ulang kembali.

"Kalau stress atau lelah dengan pekerjaan atau ada masalah apa yang kamu lakukan?"
"Berusaha menyenangkan diri sendiri. Dengan apapun itu meskipun hal yang sangat sederhana."
"Contohnya?"
"Ketika berjalan ke arah ruangan ini, kita bertemu dengan petugas yang berada di resepsionis. Sekedar menyapa sebentar lalu melihat senyum terkembang, itu sudah cukup untuk menyenangkan diri sendiri. Kalau bukan diri kita sendiri lalu siapa lagi? Apakah kita harus berteriak untuk sekedar meminta penghiburan diri?"
"Semisalkan kamu marah atau stess dengan pekerjaanmu, lalu apa yang kamu lakukan?"
"Tidak terlalu muluk juga, cukup ketika di luar jam kantor berkunjung ke saudara atau kawan dekat. Sekedar mengobrol untuk mengalihkan suasana."
"Tidakkah itu tetap saja menyelinap dalam hatimu bila ada amarah?"
"Mungkin, tapi sebelum matahari terbit saya harus bisa mengakhiri amarah itu."
"Bisakah?"
"Diusahain, dan harus bisa... lagipula..."

kalimatku agak menggantung kali ini..., ibu itu menatapku sambil menanti jawaban yang keluar dari mulutku.

"Saya tipikal orang yang harus mengeluarkan apa yang ada dalam benak saya. Sekedar untuk mencapai sesuatu yang bernama 'lega'."
"Dengan cara?"
"Cerita dengan saudara atau kawan dekat, atau cukup dengan menulis. Menulis adalah kawan yang setia. Dia tak pernah mengeluh pada apa yang kita gurat pada pena di lahan kertas miliknya. Dengan menulispun bisa membuat saya lega... ."


Catatan buat si empunya blog:
Menulislah jika itu jiwamu. Tidak peduli hanya huruf yang berterbangan yang kau coba tangkap satupersatu dan merangkainya jadi kata. Atau hanya titik, koma yang menjadi pertanda sapa. Jadi teruskanlah menulis. Jangan lupa bawakan saya kunangkunang satu untukku.