27 May 2006

Semoga Tangis Segera Reda

Kairo masih gelap saat pesan singkat itu masuk. Seorang kawan di Klaten mengabarkan ada gempa di Jogja dan Klaten. Aku tertegun. Ada gempa yang sama dalam dada. Gemuruh yang memuntahkan pijar gelisah, meluluh lantakkan sebaris kenangan indah.

Jogja, bukan lapak-lapak buku murah yang mengobati dahaga wacana.
Jogja, bukan obrolan-obrolan mencerdaskan di warung angkringan.
Jogja, bukan puisi yang menari di jalanan Malioboro.
Jogja, bukan tawa ceria debur ombak laut Selatan
Jogja, bukan cangkir kopi dan nikmat kretek di Kaliurang

Jogja hari ini adalah wajah-wajah gelisah, tubuh luka penuh darah, mata yang hujan, bangunan merata bumi, jalan pecah bergelombang, raung sirine menyayat hati, dan segala bentuk ketidaknyamanan lain.

Aku di sini hanya bisa menatap langit kosong, bersih tanpa awan. Tapi di sini, di dada ini, hati luruh diguyur hujan. Berharap doa tak moksa sebelum mencapai langitNya.

Semoga tangis segera reda
Duduk lagi kita di sana
Di Tugu
Di kota lama
Di kota kita
Jogjakarta

20 May 2006

Tugasku Sebagai Manusia Belum Purna

Belakangan ini aroma kematian menyelimutiku. Banyak yang pergi dan tak mungkin kembali. Tiba-tiba aku merasa takut. Takut jika hal yang sama terjadi padaku. Sekian tahun perjalanan hidup tak membuatku bisa meninggalkan sesuatu untuk dunia di mana aku lahir dan tumbuh.

Sudah banyak orang-orang yang mati muda. Ada yang tercatat, lebih banyak yang dilupakan. Aku, boleh jadi akan masuk kelompok kedua. Hanya serupa debu, terbang dan melintas lalu.

Andai bisa, aku masih ingin hidup dua atau tiga tahun lagi. Setidaknya masih banyak hal-hal yang tertunda dan harus segera dilaksanakan. Tugasku sebagai manusia belum purna. Tugasku sebagai manusia belum purna.

See You, Mr Mahmud

"Ibarat benang dan jarum jahitan,kapan dan kemanapun sang penjahit ingin menarik jarumnya saat itu pula benang tersebut akan mengikuti. Demikian matsal ajal dan mahkluk yang bernyawa. Tua ataupun muda pasti akan menyambut tamu ini!"

Baris kalimat itu ditulis seorang kawan saat mereply surat belasungkawa atas meninggalnya Ustadz Mahmud MS, guru bahasa Inggris kami di MAKN Solo. Jelas saja aku merasa kehilangan. Beliau adalah guru paling canggih dalam mengajar bahasa Inggris. Di kelas, kami benar-benar hampir tidak "diajar". Membuka kelas dengan sedikit berbincang tentang hal-hal diluar diktat, dilanjutkan dengan membuka sesi tanya jawab. Jika ada yang bertanya kelas dilanjutkan. Jika tidak, beliau langsung keluar kelas sambil mengucap salam.

Gila! Pikirku pada mulanya. Tapi di pertemuan selanjutnya baru dijelaskan, jika tak ada pertanyaan berarti muridnya sudah pinter dan guru ga perlu ngajar lagi. Oo.. jadi ini yang dimaksud dengan metode siswa aktif. Memang tak semua penghuni kelas cocok dengan model ini. Ada yang mengeluh tidak "mendapatkan apa-apa" saat di kelas, tapi ada juga yang jadi begitu antusias belajar dan sumringah setelah mengikuti kelas. Sisanya, ya yang semacam saya, yang biasa-biasa saja. Tak terlalu bersemangat dan tidak pula kecewa.

Yang pasti, dari beliau saya (dan mungkin kawan-kawan lain) belajar bagaimana seharusnya manusia belajar. Bahwa guru bukan keran dan murid bukan gelas yang harus diisi. Lagipula, jika menilik ranah etimologis, kata murid itu kan dari bahasa Arab yang artinya "orang yang menginginkan sesuatu". Sudah semestinya jika murid yang aktif dan bukan hanya diam. Kosakata Arab sendiri lebih sering menggunakan kata tholib, yang artinya ga jauh beda, yaitu "orang yang menuntut ".

Ok, soal apa yang diinginkan dan dicari itu pilihan. Ada yang mencari nilai (baca: deretan angka-angka di atas kertas) dan ada pula yang lain. Apapun itu, sudah jelas bahwa dalam belajar seorang manusia harus aktif. Ia sendiri yang tahu apa yang harus dicari dan dipelajari. Itu saja.

Thank's to Mr. Mahmud for being my inspiration on learning
.

Semoga pencerahan selama ini menjadi amal kebaikan di mataNya.

18 May 2006

Semacam Pertaruhan

Tidak sesederhana menatap kaca. Di kamarmu ada beragam warna dan citarasa berpadu jadi satu. Kamu harus menyibak satu per satu lembar yang tersaji. Mencatat apa yang perlu dan membiarkan sisanya berlalu.

Kamu tentu tahu bahwa itu semacam pertaruhan. Jika harus menghitung peluang, sepertinya terlalu tipis kemungkinan menang. Meski begitu, kau baru saja menemukan satu kata dalam kamus usang di samping kasur.

Unpredictable (adj) unforeseeable, uncertain, not predictable

Sekali lagi kamu masih bisa tersenyum. A fake smile. An artificial smile.

Tanpa Judul - 180506

Tiba-tiba malam ini kamu ingin keramaian. Setelah terhisap dalam histeria akut pendukung Barca kau bergerak menjelajahi ruang gelap di pojok apartemen. Mereka menyebutnya gudang. Tapi mereka tak tahu, di tempat itu Tan Malaka berlari diantara hutan dan semak belukar menggendong Madilog. Kemudian Ibnu Hazm mencatat patah hati yang menyerangnya berulang kali. Ibnu Rusyd melukis puisi-puisi sesaat sebelum datang Al Ghazali yang menawarkan secangkir kopi.

"Nak, aku percaya engkau belajar,"

Tok...tok...tok...
Dari balik pintu sosok bertopeng hitam datang. Bukan penjahat, ia kawanku juga. Seorang Zapatista dengan topi pet hijau dan pipa di mulut.

"Permisi. Aku numpang mencatat mimpi,"
"Oh, silahkan. Bagaimana kabar kawan-kawan Chiapas?"

Sub diam. Ia meraih notes di meja juga pena. Melawan dengan kata, ucapnya.

Dari kamar sebelah Sayyid Quthb datang. Ia lagi frustasi. Enggan menulis lagi. Menurutnya kata-kata sudah tak lagi berguna. Cukup sepucuk pistol, beberapa butir pelor dan suara dor. Kamu tak percaya. Manusia perlu dibangunkan. Ini semacam penyadaran. Bukan soal darah.

Quthb permisi. Hendak menulis lagi. Beberapa menit kemudian ada pesan singkat masuk: Quthb mati di tiang gantungan

Diam-diam kamu menangis. Semacam kehilangan. Lalu Bapak datang membawa amplop putih. Bapak hanya bertanya, "Butuh apa?"

Kamu lagi butuh senjata. Bapak baru punya satu setengah juta.

Hari sudah pagi tapi aku masih bermimpi.

03 May 2006

Tanpa Judul

Seperti hari-hari yang lalu kita tetap memasung rindu. Tak membolehkannya untuk sejenak beranjak dari ruang kalbu. Sebagaimana hari-hari yang lalu kita tetap memilih bisu. Tak membiarkannya sejenak keluar dari ruang hampa.

Sebagaimana biasa kita tetap menyimpan rasa, enggan membaca dan merobek-robek damba dalam dada. Yah, sebagaimana biasa: kita tetap saling mencintai dengan cara tersendiri.

Pram, Selamat Jalan

Mengenang Pramoedya Ananta Toer (1925-2006)

Aku bukan seorang Pramis. Meski sudah beberapa tahun kenal lewat karyanya yang dipajang di toko buku. Itupun tak semuanya terbaca. Hanya beberapa judul yang sempat kulahap. Setelah bergaul dengan manusia melek sastra aku baru sadar bahwa Pram adalah orang besar. Puluhan buku yang dihasilkan serta beberapa kali masuk nominasi penghargaan Nobel sastra adalah bukti eksistensi Pram sebagai manusia sebenar, bukan sekedar.

Pram bagiku adalah potret nyata sebuah dedikasi. Upaya-upaya yang ia lakukan untuk mencatat hidup merupakan bukti kesadaran diri. Pram bukan orang yang setengah jadi. Ia mempertaruhkan hidupnya demi sebuah prinsip yang diyakini sebagai sebuah kebenaran. Untuk hal satu ini kita berhutang kepadanya.

Aku bukan seorang Pramis. Meski begitu banyak yang aku ambil darinya. Tentang Jawanisme misalnya. Jawanisme bukan sekedar Jawa-sentris, yang mana menjadikan Jawa seagai pusat dan barometer kekuasaan. Jawanisme yang ditentang Pram adalah sikap taat dan setia pada atasan. Sikap inilah yang akan berujung kepada fasisme Jawa, sebuah sistem yang tumbuh dan berkembang pesat dalam masa Soeharto.

baca lebih lengkap