11 October 2005

Ada Yang Tertinggal

Senja itu, ketika air mata ibu luruh mengantar kepergianku. Tak ada air mata. Hanya enggan yang tersimpan. Ibu, persembahan apalagi yang bisa kusajikan untukmu selain usaha untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang pernah kau ceritakan. Mimpi tentang anak yang berontak, yang enggan untuk pulang. Mimpi tentang kembalinya ia kepadamu membawa bingkisan cinta untukmu.
Ibu, tak cukup kata kurangkai untuk menggambarkan betapa besar cinta dan takzimku kepadamu. Aku sadar semua yang menggumpal di dada hanyalah secawan air dibanding cintamu yang melaut untukku. Apapun yang kulakukan tak akan berbanding dengan apa yang kau berikan selama ini. Aku bahkan tak tahu, adakah kebajikan yang berbanding dengan kebajikan seorang ibu. Sungguh, aku tak tahu.

Ibu, aku pergi untuk sesuatu yang baik. sesuatu yang mungkin bisa mengobati kekecewaan karena ulahku yang liar. sungguh durhaka aku yang telah menoreh luka di dadamu...

Maafkan anakmu ibu...
Sungguh, aku mencintaimu...

Hari-hari terakhir sebelum bertolak begitu membuatku resah. Bukan semata-mata karena perpisahan denganmu; wanita yang telah memberiku begitu banyak limpahan cinta, akan tetapi semacam kekhawatiran tentang apa yang akan kubawa pulang tuk kuberikan untukmu nanti. Bahkan disaat seperti ini masih saja tubuh dan jiwa enggan berusaha. Aku tahu, di tiap malamku senantiasa angin menyampaikan doa-doa yang selalu kau lantunkan pada tahajud malam.

Ibu, aku merindukanmu... juga tangismu yang pecah suatu malam dan aku terjaga saat kudengar kau sebut namaku dalam doamu. Sungguh ibu, entah kapan kurasakan kehangatan itu lagi. Dan aku pergi bukan sebentar. Seliar-liarnya aku, tetap saja aku butuh rumah, butuh ibu yang ramah, juga kisah-kisah yang biasa kau ceritakan setelah beberapa hari aku pergi. Kapan lagi aku bisa mendengar ceritamu? Sementara angin tak mungkin sanggup jika harus bekerja lembur tiap hari untuk mengirimkan muatan cinta darimu.

Mungkin benar saat kau bilang kemarin, "kan isih iso telpon...". Tapi tetap saja sinyal-sinyal elektromagnetik tak cukup mewakili bahasa nurani, juga pandang matamu yang meluluhkan hati. Langit di bumiku tanpa bintang, bulanpun tak genap setengah. Semoga ini hanya bagian dari siklus rotasi. Bukan karna langit ingin menemani aku yang sunyi.

Ibu, aku mencintaimu...