31 December 2006

Tutup Buku

Sudah setahun lewat sejak rencana-rencana ditorehkan. Apesnya, terlalu banyak yang hanya menjadi tulisan tanpa bisa diwujudkan. Mungkin tahun ini adalah tahun paling sia-sia. Tak ada pencapaian berarti yang layak diingat. Kesimpulannya jelas; aku terlalu malas.

Ada memang beberapa kejutan, semacam hadiah yang diterima tanpa pernah terbayangkan sebelumnya. Untuk semua itu, sepatutnya aku bersyukur. Maka kucoba mengakhiri catatan tahun ini dengan sepenggal senyuman. Kesakitan yang tertulis biarlah jadi sejarah. Besok mulai lagi dengan lembaran baru. Besok mulai lagi dengan sisa angan tak kesampaian. Besok mulai lagi, dengan daftar mimpi yang pernah kita sepakati.

Semoga tahun depan sarat akan pencapaian yang berarti.

27 December 2006

Solilokui Menjelang Pergi

: untuk kawan baik

Entah malam yang mana engkau terjaga. Di langit kulihat bintang-bintang menciptakaan citraan yang entah akan engkau baca sebagai apa. Tentu ada bulan meski hanya sepenggal. Aku tahu itu sudah cukup untukmu yang enggan menuntut terlalu banyak dalam hidup. Rokok kretek di sela-sela jemariku tinggal separuh. Bungkusnya sudah kuremas dan terbuang di sudut ruang. Tiba-tiba saja aku ingat omonganmu dulu. Katamu hidup ini seumpama pijar rokok yang menjalar sebentar lalu segera mengabu jadi debu. Tapi hidupmu tak singkat. Setidaknya menurut ukuranku. Seingatku sudah dua puluh tahun lebih engkau terkutuk sebagai manusia yang gelisah. Eh, sebenarnya dua puluh bukan bilangan yang tepat. Tapi aku tak tahu sejak kapan engkau mengerti arti sadar. Anggap saja angka itu semacam generalisasi atas sesuatu yang sukar disepakati.

Kesadaran adalah kutukan. Kalimat itu yang pernah engkau tulis sebagai kalimat pembuka surat yang tertuju kepadaku. Tak ada yang salah jika aku meminjamnya sebagai kalimat awal di paragraf kedua. Aku tidak sedang main-main dengan kata. Aku hanya mencoba bersepakat bahwa kesadaran adalah kutukan. Seringkali engkau terjaga di tengah malam, memperhatikan langit yang engkau baca entah sebagai apa, mencoba menjawab pertanyaan yang datang entah darimana entah untuk siapa. Jika aku mengambil kesimpulan bahwa engkau manusia yang gelisah, semoga saja aku tak salah. Engkau bukan penjahat. Setidaknya engkau tak pernah bercita-cita menjadi penjahat. Maka jika malam-malam dilalui dengan kegelisahan, sudah pasti ada yang salah di sini. Dari suratmu aku bisa membaca ada apa di balik wajahmu yang kuyu. Sungguh terberkatilah mereka yang sadar.

Baiklah kawan, setiap orang menempuh perjalanan hidupnya sendiri. Titik yang engkau pijak saat ini adalah hasil dari apa yang sudah engkau tempuh. Karenanya, sungguh wajar ketika orang-orang di sekitarmu merasa ada sesuatu yang berbeda pada dirimu. Setiap orang hidup dan terbentuk, entah dengan kesadaran atau tak, oleh pengalaman masing-masing. Aku lebih senang menyebut ‘sesuatu yang berbeda’ dengan istilah keunikan. Engkau menyebutnya keanehan, padahal sama sekali tak ada yang aneh. Berbeda adalah wajar, itu yang bisa kita baca dari dunia sekitar. Lantas saat ini tiba-tiba saja engkau mengeluh, duniamu sudah tak nyaman lagi untuk engkau tinggali. Ah, mengapa engkau tak bersabar sebentar? Setahuku tak terlalu berat bagimu untuk beradaptasi. Aku masih ingat betul masa-masa sulit yang kita jalani bersama. Saat itu, kamu adalah satu dari beberapa alasan untukku melanjutkan hidup. Semoga kamu tak lupa.

Engkau bertanya kepadaku, jika terjebak di sebuah gang buntu, mana yang dipilih: berbalik arah lantas memutar atau melompati pagar? Seandainya aku ada di dekatmu sekarang, aku akan bertanya tentang kondisi gang buntu itu. Terlalu banyak variabel yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan, dan engkau tak menyebutkan semuanya. Hmm, bagaimana jika kita sepakati saja: memutar berarti mencari titik aman. Konsekuensinya waktumu lebih banyak terbuang. Sementara melompat pagar berarti mengambil resiko lebih besar, meski keuntungannya jelas: waktumu tak terpangkas.

Dua opsi yang ada sama-sama punya resiko. Bahkan jika engkau memilih untuk berbalik arah lalu memutar. Begini, adakah jaminan bahwa jalan yang engkau pilih lebih aman? Memang engkau sudah pernah melaluinya, engkau hafal betul setiap bagian-bagian yang pernah dilewati, namun siapa yang menjamin semuanya akan baik-baik saja. Bisa saja sekian detik setelah kau lewati keadaan berubah. Bisa saja kau yang merasa aman melintasi jalan A, seketika dikejutkan oleh kelompok demonstran yang sedang bertikai dengan polisi. Bisa saja anjing tuan B yang sering menyalak di balik gerbang terlepas dan mengejarmu. Bisa saja lapak buku C tempatmu nongkrong sudah tutup. Bisa saja ada perbaikan jalan yang menghambat perjalananmu. Bisa saja...

Lantas kamu memilih untuk melompat pagar. Bahkan jika kau bisa untuk memanjatnya, tak ada jaminan posisimu aman. Bisa saja engkau harus terjatuh berulangkali karena tembok (atau pagar?) yang kau panjat terlalu tinggi. Bisa saja tanganmu terluka karena kawat berduri atau pecahan kaca. Bisa saja kakimu patah karena mendarat di tanah dengan posisi salah. Bisa saja orang-orang meneriakimu dengan kata-kata maling dan kau digebuki. Bisa saja...

Selalu ada harga yang harus dibayar untuk sebuah keputusan, begitu yang pernah kudengar dari seorang kawan sangat baik. Aku tak akan menjawab pertanyaanmu. Lebih baik engkau bertanya pada hatimu sendiri. Bertanyalah pada nuranimu, begitu bukan yang disabdakan oleh Nabimu? Sebab itu kumaklumi keputusanmu untuk sejenak menepi beberapa waktu kemarin. Toh saat ini kau sudah kembali, menemui kawan-kawanmu dan mengerjakan hal-hal yang sempat terlantar. Maka kuucapkan selamat. Tentang jalan mana yang hendak engkau ambil besok, sepatutnya engkau sendiri yang memutuskan, dengan atau tanpa pertimbangan orang lain. Bukankah hanya dirimu sendiri yang mengerti akan apa yang hendak kau perjuangkan dalam hidup? Sepahit apapun kenyataan yang lahir nanti, setidaknya ia ada karena pilihanmu sendiri. Itu saja.

Eh, sebelum permisi aku hendak bertanya; apa bedanya menyepi dan melarikan diri? He...he... aku ingat Jokpin menjawabnya dalam kumpulan bertajuk Telepon Genggam. Buku bersampul hitam itu masih ada padamu bukan? Jika tidak, jawablah dengan pikiranmu sendiri.

23 December 2006

Jika Besok Aku Tak Menyapamu

Jika besok aku tak menyapamu, jangan merasa kehilangan. Bukan berarti aku tak ingin lagi menepi, menyepi, bersamamu saja, berdua seperti kemarin. Sudah cukup lama aku menarik diri dari gerak peradaban. Rasanya tak baik jika menunda-nunda kerja yang belum rampung. Aku tak tahu kapan akan "pulang" kepadamu. Mungkin dua tiga hari, mungkin seminggu, mungkin lebih lama dari itu.

Memang aku belum benar-benar pulih hari ini. Namun tak baik berlama-lama dalam gua. Aku hendak keluar. Banyak yang harus kuselesaikan dengan kawan-kawanku di sini. Aku juga harus tahu diri. Mereka memaklumi kondisiku yang lagi labil, sepatutnya pula aku bergegas menyusul.

Tapi tak usah terlalu khawatir, jika longgar aku akan berkabar untukmu. Mungkin tak sekerap hari-hari terakhir. Dan itu tak berarti aku sudah tak gulung-koming lagi seperti kemarin. Sepertinya masih. Sepertinya masih.

Terima kasih untuk kesediaan berbagi selama ini. Seperti yang kamu bilang kemarin dulu; segala gojekan tak bermutu itu meluruhkan sebagian bebanku.

p.s ketimbang Bend and Break, aku kok lebih menikmati aransemen This is The Last Time ya?

20 December 2006

Sakauta Ingin Mati

: untuk kawan-kawan baik

Sakauta datang dengan bungkusan luka. Tak pernah ia merasa sesakit ini sebelumnya. Memang, baginya hidup adalah kesakitan yang tak terjeda. Meski begitu akumulasi adalah sesuatu yang lain; engkau bisa menahan mereka satu-satu, tidak saat luka berkumpul jadi satu.

Sakauta duduk di muka pintu rumah. Wajahnya lelah. Surat itu memang untuknya. Tapi apa yang bisa ia lakukan sekarang. Entah. Sepertinya orang-orang sudah menutup mata. Bukan. Bukan buta. Mereka butuh istirahat setelah lelah jalan-jalan. Lalu Sakauta berjalan meninggalkan rumah. Bungkusan luka masih ada di tangannya.

Di lapangan ia berhenti. Duduk sejenak untuk mendinginkan hati. Hey! Sakauta tersenyum. Tidak. Sakauta tak hanya tersenyum, ia tertawa. Tapi hanya sebentar. Seketika wajahnya muram entah karena apa.

Ia merasa sendirian sekarang. Melihat lalu lalang kendaraan, orang-orang yang sesekali melintas. Ia sendirian sekarang. Melihat langit, bintang-bintang. Eh, bulan sedang sembunyi. Bulan tak tampak kali ini. Sebelum ritual melihat langit berakhir, tangan kirinya merogoh saku celana, masih ada beberapa batang rokok. Ia nyalakan sebatang. Huh, udara malam terasa dingin sekali. Ia masukkan tangan kanan pada saku sebelah kanan. Jemarinya menyentuh sesuatu. Kertas. Lalu diambilnya dua kertas dari saku. Satu berwarna kuning dengan huruf-huruf tercetak. Itu surel yang diprint di sekretariat tadi sore. Satu lagi tulisan tangan pada lembaran buku catatan. Ia kenal betul kertas itu sebagaimana ia kenal tulisan tangan milik siapa yang ada di sana. Lalu surel itu? Entahlah.

Aneh. Sakauta merasa ganjil. Dua surat dalam waktu hampir bersamaan berisi kesakitan. Ia kenal baik siapa yang menulis dua surat itu. Rasanya ada yang ganjil. Tapi Sakauta memang dilahirkan hanya untuk bertanya. Sebuah alasan tak musti membuat keadaan lebih baik, kata-kata itu yang masih saja diyakini hingga kini.

Malam makin larut. Udara dingin semakin terasa menelusup dalam tulang. Ah, Sakauta butuh istirahat. Ia sangat lelah. Tapi ia bimbang, kemana hendak melanjutkan perjalanan?

Sakauta ingin mati. Ingin sekali. Tapi tidak hari ini. Tidak saat ini.

14 December 2006

Pertemuan

aku mencarimu yang entah
temani aku melarung segala yang lelah
(penggalan sajak aku mencarimu yang entah, oleh Dedi Hermansyah)

Adalah engkau yang memaksaku untuk segera berkemas. Perjalanan memang belum usai. Tapi tak ada salahnya untuk sejenak istirahat. Bukan halte. Bukan tempat singgah. Sebab engkau adalah rumah. Di sana aku akan rebah. Bercerita tentang perjalanan. Bercerita tentang kota, pantai, sungai, laut, gunung. Bercerita tentang matahari, bulan, bintang, langit awan. Bercerita tentang apa saja sampai aku habis kata purna aksara.

Tak lama sayang, tak lama. Sabar saja engkau menunggu. Aku pasti kembali. Ke pangkuanmu. Ke pangkuanmu.

p.s: terima kasih jo :)

14 November 2006

Aku Ingin Engkau Tersenyum

Aku ingin engkau tersenyum. Dia juga. Meski aku tahu bahwa senyum dalam waktu bersamaan tak musti kesejiwaan. Masih ingat cerpen yang aku kirim untukmu? Di sana ada adegan di mana seorang lelaki tersenyum setelah membeli setangkai mawar dari bocah kecil. Nah, bocah itu juga tersenyum bukan? Sementara lelaki itu tersenyum karena bunga itu mengingatkan dia akan peristiwa masa lalu, si bocah tersenyum karena uang itu bisa digunakan untuk mengganjal perut lapar.

Aku ingin engkau tersenyum. Dia juga. Meski aku tahu itu tidak mudah. Seperti Seno aku bertanya, terbuat dari apakah kenangan? Tentu aku tak tahu. Mungkin dia juga. Tapi seberapa penting untuk tahu asal sesuatu? Bukankah kepingan puzzle yang hendak kau genapkan sekarang datang entah dari mana entah karena apa? Maka izinkan aku menghadirkan dirimu dalam ruang pikirku. Mungkin tak lama. Sebentar saja. Sampai aku yakin bahwa engkau sudi tersenyum lagi.

Tak usah bertanya mengapa. Sebuah alasan tak musti membuat sesuatu lebih baik. Dia benar, yang pasti di dunia ini adalah ketidakpastian.

Aku ingin engkau tersenyum lagi. Dia juga.

p.s Tadi aku diam, sebab senja mengingatkan aku akan kematian.

07 November 2006

Paradoks Menjelang Mati

Dek, suatu saat kamu akan memahami kenapa aku merasa hidup begitu berat untuk terus diperjuangkan. Usiaku sekarang adalah batas di mana seorang manusia harus bertanggungjawab atas apa yang dilakukan. Iya sendirian. Aku tak boleh lagi mengeluh. Aku tak boleh lagi menyalahkan variabel lain di luar diriku untuk sebuah kegagalan atau kesalahan. Dulu, aku bisa saja menuduh kamu, dia, atau mereka sebagai kambing hitam. Tapi tidak sekarang. Hukum alam tentang sebab-akibat masih berlaku. Karena aku bukan fatalis, tak ada ruang untuk melimpahkan kesalahan kepada variabel lain di luar diriku. Tuhan pun tak. Semoga kamu bisa memaklumi mengapa aku menjadi begitu pesimis untuk melanjutkan jalan -yang aku tahu- belum selesai.

Mas, kamu mungkin sedang lelah.

Iya dek, orang yang lelah butuh istirahat. Tapi aku terlalu bodoh dalam memilih waktu. Aku terlelap ketika mereka bangun. Saat aku bekerja, tak kulihat seorang pun di sekeliling. Mereka semua pulas. Tiba-tiba aku merasa menjadi seorang jagoan. Jagoan kesepian yang melakukan aksi-aksi heroik sendirian. O, terpujilah Dia Yang Tak Tidur dan Tak Lalai. Saat aku terjaga, aku melihat gerak laju peradaban yang sedemikian dahsyat. Mereka bekerja, mereka bergerak, sementara aku baru bangun tidur. Aku merasa ketinggalan. Tidurku terlalu panjang. Aku bukan jagoan.

Mas, dunia tak butuh pahlawan.

Iya dek, aku percaya sekarang. Maka jangan salahkan jika aku nanti jadi pengecut. Sebab dunia hanya butuh penurut.

Eh, kamu menemukan kontradiksi dalam surat yang aku tulis? Iya katamu? Wah, selamat datang dek. Selamat datang di dunia sebenar, bukan sekedar.

22 October 2006

Menyusulmu

: Ibnu Syam

Kira-kira kapan aku menyusulmu ke sana? Hari ke berapa sampai di sana? Aku ingin rebah di pelukan mamah. Sebab Kinanah terlalu jahannam untuk mengaku kalah. Di sini tak ada puisi seperti di negeri kita. Di sini tak ada hujan --ah, negeri kita juga sama belakangan ini-- yang menyuburkan kata-kata.

Aku baru nyadar, diam-diam aku tak mampu lagi menulis puisi. Mungkin sejak aku tak lagi merasakan ekstase oleh paduan ricih air dan tajam aroma tanah basah selepas panas. Benar, aku tak ragu lagi, sungguh aku tak mampu lagi menulis puisi. Padahal entah berapa sajak tertinggal di tempat yang dahulu pernah aku singgahi. Catat ini, berapa puluh di sela-sela batu nisan Bonoloyo. Berapa puluh di kamar Gerbong. Berapa puluh di Terban. Berapa puluh di Sapen. Berapa puluh di Ciputat. Ah, mengapa pula dulu aku berbalik arah. Malah menulis cerita dewa-dewi juga kisah tentang ksatria dan tuan putri. Jahannam pula aku. Penjahat kecil yang mencoba alih kasta. Tetap saja mereka borjuis kecil yang mengaku pejuang progresif-revolusioner. Bah! Jahannamlah sebuah cita-cita. Aku lapar. Mereka juga. Tapi aku tak punya uang. Aku tak menghasilkan apa-apa di sini. Mereka? Sudahlah. Mereka terlalu kenyang sehingga bingung cari kegiatan. Tak salah bukan jika aku enggan ikut-ikutan?

Hey! Sudahlah. Berhenti ceramah. Kamu lupa ya? Chairil sudah tiada. Aku tahu itu sejak kutemukan dia tergeletak di lapak buku ngisor ringin alun-alun utara. Tak usahlah memaksakan diri jadi ksatria. Nanti terbunuh kamu dihajar keruh. Sungguh.

Kira-kira kapan aku bisa menyusulmu ke sana?

Oh satu lagi, memang ada ya buah simalakama? Yang bisa membuatmu bingung memilih siapa yang harus terbunuh.

p.s: Wis tilik pondok durung bos? Mampir omah-lah yen awakmu longgar. ^ ^

Mencatat Batin: Darrasah - Gami'

Ini kali pertama aku pulang malam dari Darrasah. Belum Isya' memang, tapi langit sudah gelap. Kebetulan aku duduk di bangku paling ujung tepat di bagian belakang. Untuk bus dalam kota, aku selalu memilih bagian belakang, lebih-lebih seperti yang aku tempati saat ini, tepat di sisi jendela.

Ini kali pertama aku pulang malam dari Darrasah. Bus yang kutumpangi tak terlalu penuh. Masih ada beberapa bangku yang belum terisi ketika aku menyerahkan uang kepada kondektur. 50 piaster; harga yang murah untuk suasana semacam ini.

Kamu menyebutku pemburu senja. Padahal tak sepenuhnya benar. Aku pemburu suasana. Mencari ruang-ruang yang bisa membuatku merasa nyaman untuk istirahat. Maka ketika aku pulang lebih lambat dari biasanya dan mendapatkan bangku kosong di bus, genaplah pencarian untuk hari ini.

Naf, tentu saja aku tahu kamu tak pernah (atau sulit ya? Entahlah) setuju dengan apa yang lazim aku kerjakan. Aku juga tahu hal itu bukan karena apa yang aku kerjakan terlalu sulit. Justru sebaliknya, hal ini terlalu remeh bagi orang lain, termasuk kamu. Meski begitu, semenjak aku percaya bahwa hidup adalah pilihan, tak ada yang bisa mengintervensi apa yang akan aku lakukan. Bukan berarti aku tak bisa menerima masukan orang lain, hanya saja sebuah keputusan memang sepatutnya lahir dari diri sendiri. Soal pengaruh dari variabel lain di luar kita, rasanya boleh-boleh saja.

Seorang gadis Mesir naik dari pintu depan. Tak ada bangku kosong selain yang ada di samping lelaki Asia dengan jaket hitam, celana jeans, dan sepatu berbahan kanvas. Gadis itu tahu. Segera ia berjalan menuju bangku paling belakang. Lelaki Asia tersenyum. Entah untuk apa. Sebab matanya menerawang menatap bulan yang tak lagi utuh.

Naf, kamu lihat tidak bulan yang sedang kupandang? Jika tidak, apa yang kamu lakukan sekarang? Semoga aku tak salah jika mengira kamu sedang membaca diktat kuliah di tahun terakhir studimu. Atau mungkin sedang menekuni mushaf untuk menggenapi sekian kali khatam di bulan Ramadlan. Eh, itu terasa terlalu 'heroik' ya? Baiklah, semoga aku tak salah jika mengira kamu sedang berada di depan komputer, menjelajah dunia maya, berbincang lewat messenger, dan menulis sesuatu untuk di-posting di blog. Apa katamu? Aku terlalu meremehkan? Tidak. Sungguh tidak. Aku hanya sedang membayangkan kemungkinan. Itu saja. Ok, aku mengaku saja, dulu aku pernah under-estimated memandangmu. Tapi itu dulu. Ketika aku belum begitu serius membacamu. Penilaian boleh berubah kan? Ternyata palungmu lebih dalam dari yang aku taksir.

Naf, semoga kamu belum pernah mendengar cerita ini. Di Kairo, ada seorang lelaki dari negaramu yang selalu keluar rumah ketika bulan purnama. Aku sendiri kurang tahu kemana ia pergi. Pokoknya ketika bulan purnama kamu tak akan mungkin bisa menemuinya di rumah. Aku pernah menjumpainya di taman. Sesekali ia tampak di stasiun metro bawah tanah di kawasan Ramses. Bulan lalu ia ada di Tahrir. Selain melihat bulan, biasanya lelaki itu memegang buku, entah buku bacaan atau buku catatan.

Oia, mungkin perlu aku bilang dari mana aku tahu cerita itu. Begini, kira-kira setahun lalu aku bertemu lelaki itu. Tentu saja kami berkenalan. Nah, suatu hari dia mengajakku untuk ikut ritual melihat bulan. Tentu saja, untuk seorang yang masih mencari-cari sesuatu untuk ditekuni, tawaran itu cukup menarik. Maka terjadilah apa yang terjadi. Kami sama-sama menikmati bulan. Lama. Dari senja sampai dini hari. Saat itu pula aku bertanya, untuk apa dia harus menjalani ritual semacam itu? Bukankah banyak hal menarik yang bisa dikerjakan di Kairo? Kamu tahu apa yang dia bilang? Manusia butuh refleksi, demikian jawabnya.

Naf, meski kemampuan menghafalku sangat pas-pasan, tapi untuk mengingat poin-poin penting perbincangan kita tak terlalu sulit. Setidaknya aku ingat ketika kamu bilang bahwa saat ngobrol bersamaku, kamu tak pernah nyambung. Tunggu, aku tidak sedang ingin menunjukkan bahwa aku lebih cerdas darimu. Sungguh tidak. Lagipula sudah jelas bukan bagaimana posisi aku dibanding denganmu? Kamu menulis, aktif di banyak organisasi, pernah terlibat dalam sebuah kelompok kajian ekslusif, studimu lancar. Begitu banyak kebaikan yang ada pada dirimu. Sedangkan aku? Tak lebih dari lelaki biasa yang datang ke Kairo untuk menambah prosentase ketidaklulusan mahasiswa Indonesia. Menulis? Aku tak seserius kamu. Maka ketika mereka mempertanyakan sejauh mana eksistensiku masuk akal untuk berada di Kairo, aku sungguh kehilangan kata untuk menjawabnya. Mungkin manusia hanya butuh waktu untuk sebuah jawaban. Maka ketika aku bercerita kepadamu tentang 'kartu' dan kamu bisa menjabarkan itu dengan baik, itu adalah titik terang untuk sebuah pencarian. Mungkin manusia hanya butuh waktu untuk sebuah keputusan. Begitu pula aku, yang akhirnya merasa ada hal lain yang bisa dikerjakan selain menjadi lelaki yang menikmati wajah rembulan.

Manusia memang butuh refleksi. Tapi semua orang datang dan bilang mereka tak butuh wacana, mereka hanya ingin aksi nyata. Semula aku percaya itu, namun beruntunglah mereka yang terasing. Setidaknya aku punya argumen untuk menjawab serangan mereka. Kamu tahu apa yang aku bilang? Kataku, justru kalian orang-orang yang malas berfikir. Dan mereka mencak-mencak. Mereka bilang aku hanya hidup dalam dunia imajiner yang aku cipta sendiri. Ah, yang pasti aku bukan Tuhan. Tapi jika alam imajiner itu memang ada, jelas bukan aku yang menciptakan itu.

Gadis Mesir yang tadi duduk di samping lelaki Asia turun. Sudah sampai Sabrowy. Bus hampir kosong. Selain sopir dan kumsari, hanya ada beberapa penumpang di bangku depan. Eh, gadis Mesir itu melempar senyum kepada lelaki Asia. Lelaki itu hanya diam. Matanya masih menerawang menatap bulan yang tak lagi penuh.

Seorang kawan di Bandung pernah menulis kalimat ini, sebelum merubah dunia engkau harus merubah dirimu sendiri. Aku mencoba mempraktikkan apa yang dia sarankan. Meski tak mudah. Jika engkau menuduhku sebagai orang yang gampang menyalahkan kondisi, rasanya engkau salah. Walau begitu aku mengaku sering gagal berkompromi untuk sesuatu yang menurutku prinsipil. Maka maafkan jika selama ini aku sering membuatmu merasa kurang nyaman. Aku tidak sedang ingin menjadikanmu alter-egoku. Sama sekali tidak. Aku hanya ingin berbagi. Itu saja.

Bus berhenti di mahattah Gami’. Seorang lelaki Asia dengan jaket hitam dan celana jeans turun. Usai menyeberang jalan, kepalanya menengadah ke atas. Dilihatnya bulan yang tak lagi utuh. Lelaki itu tersenyum. Entah untuk apa. Entah untuk siapa.

Naf, terkadang orang yang melakukan kesalahan hanya butuh kesempatan. Beri aku waktu untuk berbenah diri. Beri aku waktu untuk berbenah diri. Hanya itu yang aku minta darimu saat ini. Ya, saat ini.

CATATAN:
  1. Darrasah, nama terminal bus terdekat dari kampus lama Al Azhar.
  2. Piaster atau Qirs; pecahan terkecil mata uang yang berlaku di Mesir. 1 Pound Mesir = 100 piaster. 1 Pound Mesir bernilai sekitar 1600 rupiah.
  3. Beruntunglah mereka yang terasing, seingatku ada riwayat hadis semacam itu. Sayang aku belum memeriksa validitas statusnya. Ada yang bisa membantu?
  4. Kumsari, kondektur bus.
  5. Mahattah, tempat pemberhentian bus a.k.a halte

21 October 2006

Apa Kabar Ma?

"Neva. Ayolah kita segera mulai lagi perjalanan. Udara Mesir ini bukan milik kita; buaian yang hanya akan mengajak tidur dan mengubur tujuan sesungguhnya masa lalu kita."
(Angin Sepanjang Musim, Neka Muhammad)

Tentu aku mencoba ingat pertemuan-pertemuan singkat yang tak sempat kita catat. Hari-hari yang sarat akan gelisah. Sepatutnya engkau tak terlalu merasa asing dengan sosok ini; lelaki yang sering menghabiskan waktu di balkon dengan buku dan cangkir kopi. Sesekali pula ia merokok sembari menghitung hari yang sudah dilalui. Jika engkau bertanya apakah dia kesepian, aku dengan pasti bilang tidak. Aku memang bukan lelaki itu, tapi tak semua orang yang menghabiskan malam di balkon berteman buku dan cangkir kopi adalah manusia kesepian. Apa salahnya jika memilih sendiri saja? Bukankah menjadi asing bukanlah dosa? Ah, aku lalu teringat sebuah riwayat yang belum pernah aku periksa ulang status ke-valid-annya. Riwayat itu bilang; beruntunglah orang-orang yang terasing. Sungguh sebuah hal yang sulit diterima oleh logika sempitku ketika orang-orang yang terasing justru beruntung. Meski begitu, ada satu jawaban yang sempat terlintas di kepala; mereka beruntung karena mereka sadar. Oh! Tidak! Lupakan kalimat tadi. Lupakan.

Aku sepakat, kesadaran adalah kutukan. Seperti halnya yang terjadi pada beberapa kawan yang semula tertawa ngakak-ngakak namun esoknya menangis tersedu-sedu setelah tahu bahwa dia rasib. Nah, bukankah kesadaran adalah kutukan? Sementara mereka masih sempat melakukan hal-hal yang sama sekali tidak membuat eksistensi mereka menjadi masuk akal di dunia, kita di sini (iya ma, di planet yang sama dengan planet yang mereka huni) harus gelisah entah untuk apa entah untuk siapa.

Lalu aku ingat bahwa semua manusia masih merindukan surga. Tentu saja kita bukan tak percaya. Hanya realita di depan mata yang membuat kita menganggap itu (semacam) utopia, sebagaimana harapan manusia untuk menjadi sempurna. Utopia itu masih ada, seperti mimpi sederhana yang tak harus disepakati bersama. Aku dan kamu, kita mengejar utopia itu. Meski harus terasing dari yang lain. Aku dan kamu, kita mengejar utopia itu. Sekedar mencoba untuk percaya, bahwa kita tak (pernah) benar-benar sendirian.

Catatan:

1. Ngakak-ngakak (Jawa). Bahasa Indonesia punya padanan pas, terbahak-bahak. Tapi saya memang lagi mood menggunakan istilah ngakak-ngakak. Kok rasanya lebih asyik.

2. Rasib (Arab) harfiahnya orang yang gagal. Lazim digunakan untuk menyebut orang yang tidak naik tingkat di tempat saya kuliah.

07 October 2006

Sungguh Aku Ingin Menulis Puisi Tentangmu

"Mereka masih bersemangat seperti dulu, menjaga kosa-kata kosa-kata lama: geriliya, gerakan budaya, perlawanan. Sebab bagi mereka, keputusan sudah pasti: masa depan adalah masa lalu yang terus hidup. Mereka hanya hidup untuk masa lalu, karena masa depan mereka telah selesai oleh arus masa lalu yang dahsyat."
(Angin Sepanjang Musim, Neka Muhammad)

Aku tidak tahu pasti apa yang harus dicatat oleh para malaikat sebagai mimpi. Entah malam keberapa aku terjaga dalam minggu ini. Mencatat gelisah yang entah kapan bisa diselesaikan. Semoga engkau memaklumi ketidakmampuanku mengingat tanggal. Mungkin karena belakangan ini hari-hari dijalani dalam gerak repetitif. Begitu saja lewat. Tanpa ada yang bisa dipahatkan dalam sahaja kata. Sebenarnya aku bisa mengukurnya dengan sederhana. Jika cukup banyak endapan yang bisa diolah sebagai tulisan, itu tandanya waktuku tak terbuang cuma-cuma. Sebaliknya jika tak ada yang bisa kusajikan, pertanda waktu memang berganti tanpa arti.

Oh, sebentar, ada yang salah dengan paragraf yang kutulis itu. Bukan berarti aku tak melakukan apa-apa dalam hari-hari terakhir. Selain buku Goodwin dan Niebuhr yang belum juga kelar sampai sekarang, ada beberapa tulisan yang harus segera rampung dan disetorkan dua-tiga hari lagi, belum lagi proyek antologi cerpen yang harus segera 'dibersihkan'. Meski begitu tetap saja ada yang ganjil. Mereka tak salah jika bertanya apakah aku sakit, kenyataannya memang begitu. Tapi sungguh, lelah batin tak bisa ditebus dengan apapun. Mungkin ada, namun sampai sekarang aku belum menemukannya.

Sungguh aku ingin menulis puisi tentangmu. Semacam ringkasan percakapan yang dipadatkan. Toh pada mulanya sederhana. Sebagaimana Kitab Kejadian yang mencatat: Pada mulanya adalah Kata. Kita tidak bertemu dalam ruang yang salah, mungkin hanya waktu yang kurang tepat. Sebab itulah aku harus permisi, sejenak menarik diri membaca hati, agar nanti segalanya bisa pasti. Semoga engkau bisa mengerti, sudah terlalu sering aku mendengar orang-orang yang berbicara. Sayangnya mereka hanya menjadi busa dalam lorong-lorong sepi sejarah. Tentu bukan karena omong kosong. Mereka berbicara dengan nyala juga bara. Hanya saja mereka tak melakukan apa-apa. Apakah aku mengutuk mereka? Mungkin. Sebab aku tahu mereka sendirian. Lalu apa yang engkau tunggu? Sekutu-sekutu sudah tiba memikul mesiu siap menembakkan peluru. Maka jika nanti malah engkau sendiri yang pertama mengemasi mimpi yang pernah disepakati, akulah orang pertama yang akan mengutukmu jadi batu jadi abu jadi debu. Jahannam-lah engkau. Jahannam-lah.

Aku tidak sedang mengidap ketergantungan akut. Aku hanya sedang merindukan seseorang yang bisa menerjemahkan pikiran abstrakku ke dalam bahasa manusia. Sengkarut masa lalu adalah peti berisi kekayaan paling abadi. Sialnya hanya sedikit yang bisa membukanya. Maka jika engkau benar-benar hendak permisi, kutukan persimpangan yang menimpaku harus terjadi lagi. Bahkan dalam rentang waktu terlalu dini.

Kali ini aku tak (lagi) menawarkan diri. Cukup sudah aku mengais remah-remah waktu diantara padat gerakmu. Aku sudah terbiasa kehilangan. Meski aku tak cukup yakin apakah kali ini hal itu yang terjadi. Bukankah kita baru berhak merasa kehilangan jika benar-benar memiliki? Dan engkau bukan milikku. Engkau bukan milikku.

Sungguh aku ingin menulis puisi tentangmu. Tapi aku tak punya air mata. Sementara sisa doa sudah moksa entah kemana. Lekas pulang! Ibu menantimu. Setelah itu jangan pernah lagi menulis sesuatu untukku. Sebab masa depan sudah selesai. Aku hanyalah manusia biasa yang mudah larut dalam ramai.

Catatan
1. Cerita bertajuk Angin Sepanjang Musim karya Neka Muhammad ada dalam kumpulan cerpen Perjalanan Rembulan. Berisi karya-karya rekan-rekan di Serikat Buruh Kata, komunitas kecil yang bergerak dalam bidang literasi. Beredar terbatas di Kairo.

2. 'Aku tak punya air mata, sisa doa sudah moksa entah kemana' merupakan penggalan lagu (Blues) Luka Yang Tak Hapus oleh Mumu dan Musha. Lagu ini lahir beberapa hari pasca serangan Israel ke Libanon, menceritakan seorang pendosa yang tak bisa melakukan apa-apa untuk saudara-saudaranya yang sedang menderita di sana.

25 September 2006

Tadarus Rindu (Bag. 2)

: untuk W

Sudah malam ketiga Puasa. Apa yang sedang engkau kerjakan sekarang? Aku merindukan puisimu. Mengapa tak ada yang bisa kunikmati hari ini?

Aku percaya engkau tetap mengumpulkan kata-kata yang kau temukan dalam perjalanan. Hanya saja sesuatu telah membuatmu tak bisa menitipkannya di sebuah ruang yang akan terlihat oleh siapapun. Aku masih ingat ketakutan saat memungut kata jadi puisi; itu semacam penelanjangan diri. Sampai sekarang aku masih percaya. Puisi adalah kunci untuk masuk ke dalam lorong-lorong paling rahasia penulisnya. Maka ketika membiarkan orang lain membacanya, tak ada yang bisa disalahkan ketika terjadi hal-hal yang tak kita inginkan.

Ah, betapa menjemukan berdebat tentang siapa yang paling kuasa menangkap makna. Meski aku tahu hal itu yang membuatku gelisah oleh pertanyaan. Kita tidak berbicara dengan bahasa manusia. Kita berbicara dengan bahasa puisi. Sungguh lazim bukan jika engkau menerjemahkan apa yang tertera dengan alam pikirmu sendiri? Begitu juga aku yang ragu dan bertanya, apa benar ucapan selamat itu untuk aku?

Betapa tidak menyenangkan ketika harus kecewa. Tapi haruskan aku bertanya kepadamu; siapakah yang ada dalam puisimu? Sekali lagi aku menjadi orang bodoh. Sekali lagi aku menjadi orang bodoh.

Aku tak ingin menyalahkan siapapun, diriku sendiripun tak. Aku hanya ingat pada 'pertemuan-pertemuan' awal setelah aku berangkat, kita menjadi gagap untuk berbicara dengan bahasa manusia, tanpa kiasan tanpa metafora. Semoga saja engkau tak benar-benar aku; yang selalu gagal mengartikulasikan gagasan lewat lisan, sehingga harus menunggu perasaan mengendap, baru menyampaikannya lewat tulisan.

Tadarus Rindu

: untuk W

Ini hari kedua di bulan Puasa. Jika engkau berada disini, engkau akan melihatku duduk sendirian saja di depan monitor. Memang beberapa menit yang lalu masih terdengar lantunan ayat-ayat Al-Qur'an oleh kawan-kawan yang meluangkan waktu untuk bertadarus di sekretariat, tapi mereka sudah permisi, tinggal aku sendiri.

Ah, aku sadar betapa tidak pentingnya bercerita tentang sepi. Terlebih kepadamu; yang sudah jauh mengenal kata itu ketimbang siapapun yang pernah aku kenal. Maka maaf, jika membaca surat ini membuatmu merasa bosan, atau bahkan kurang nyaman.

Bulan puasa tahun lalu, aku menulis surat untukmu. Semula aku berencana mengirimnya via pos. Namun terjadilah apa yang terjadi. Jemariku tak sanggup menyalin kata-kata yang tersimpan dengan apik di folder komputer. Untuk mengirim via imel pun tak. Aku memang terlalu pengecut untuk menjadi lelaki.

Lalu kita bertemu tanpa sengaja seperti hari-hari kemarin. Hanya di jagad maya memang. Dan itu cukup untuk mengobati rasa ingin tahu tentangmu. Sayang sekali, kesempatan semacam itu jarang sekali aku dapat. Mungkin benar apa yang dikatakan seorang kawan; ketika hidup adalah perjalanan, tak ada yang salah jika manusia harus berpisah.

Dini hari ini, beberapa jam menjelang sahur dan aku sendirian; aku memutuskan untuk menulis surat untukmu. Sebagai akumulasi rasa ingin tahu yang menumpuk sekian lama sejak kita tak lagi 'berbicara'. Tentu saja aku tidak sedang ingin menjadi tokoh dalam cerpen pertama milikmu yang aku baca. Aku tidak ingin membunuh dengan kata-kata. Aku hanya ingin menyapamu, mengajakmu berbicara seperti dulu, seperti halnya pertemuan-pertemuan kita di persimpangan.

Engkau boleh mengutukku. Memang aku terlalu pengecut untuk sebuah kepastian. Tapi jika memang hutang itu ada, berilah cara bagaimana harus membayarnya. Meski aku tak punya apa- apa selain kata-kata, juga penasaran yang harus segera dituntaskan.

14 September 2006

Bukan Khotbah, Aku Hanya Ingin Bercerita

: Untukmu yang hendak pulang

Aku yang berlebihan atau engkau yang tak sadar? Sehingga selembar catatan dalam buku harian cukup untuk membuat badai menelusup dan mengaduk-aduk tenang jiwaku. Tentu aku mengerti bahwa itu bukan sesuatu yang terlalu istimewa untukmu. Betapa biasa. Betapa lazimnya seorang manusia mencatat hal-hal penting dalam hidupnya. Ah, aku terpaksa menggunakan kata penting. Bukan untuk menunjukkan berartinya aku. Sungguh bukan. Justru karena itu sangat berarti untukku. Justru karena itu sangat berarti untukku.

Engkau masih ingat cerita tentang seorang lelaki yang menemukan Ibunya berdoa? Sungguh aku hanya ingin engkau tahu bahwa orang-orang yang sudi menyisakan waktu untuk menyebut namakulah yang menjadi alasan untuk bertahan dalam kehidupan. Jika engkau menyebutku seorang idealis, kuberitahu hasil obrolan dengan seorang kawan hari ini. Saat aku bertutur bahwa idealis + realita = utopia, ia malah menyodorkan rumus yang mengukuhkan asumsiku. Ia bilang jika idealis adalah 1 dan realita adalah -1, maka 1+(-1)= 0. Perhatikan itu, hasilnya nol.

Ah, tentu saja aku tidak sedang mencari argumen atas ketidakmampuanku menyelesaikan hal-hal sederhana yang seharusnya teratasi. Toh aku tidak sedang membuat bangunan berfikirku sendiri. Tak perlu debat dan adu argumen, apalagi verifikasi ilmiah. Aku hanya ingin bercerita saja. Sebab aku bukan pengkhotbah. Aku hanya ingin bercerita saja. Dengan begitu engkau bisa tahu apa yang aku tahu. Dengan begitu engkau tahu apa yang aku mau.

02 September 2006

Bie, Aku Rindu Mereguk Kasih-Mu

Bie, mengapa hari-hari jadi begitu sepi belakangan ini? Diantara gemuruh suara dan gerak manusia tetap saja kurasakan kekosongan. Aku rapuh tanpamu Bie. Meski aku sadar sunyi itu kuciptakan sendiri melalui daya imaji yang tak lagi terkendali. Melahirkan bayangan-bayangan ganjil yang berkelabatan dalam jejaring ingatan. Mereka bergerak begitu liar namun meninggalkan jejak-jejak abadi di lorong-lorong hati. Begitu riuh begitu gaduh. Semacam komposisi musik yang dilahirkan oleh beragam instrumen. Suara-suara yang saling sengkarut tumpang tindih menawarkan keragaman citraan. Sementara lantunan gelombang polifonik itu tak mampu diserap inderaku. Rasanya terlalu mewah untuk kunikmati sendirian saja. Tapi disini tak ada orang lain Bie. Hanya ada aku dan Kamu saja. Dan aku sedang mengingat-ingat bagaimana cara jatuh cinta.

Engkau tahu aku tidak sedang main-main kali ini Bie. Sudah lama aku menghapus kata paling purba itu dari kamus ingatanku. Mungkin sejak aku terlarang menyemai perasaan kepada sesuatu selainMu. Ah, siapa pula yang berhak melarang seseorang jatuh cinta? Aku sendiri Bie, aku sendiri yang menciptakan terali imajiner untuk meredam syahwatku yang masih liar.

Bie, kemarin aku bertemu perempuan. Tentu saja kami berbicara tentang banyak hal; termasuk masa depan. Ah, seharusnya aku tahu berbicara tentang kemungkinan-kemungkinan akan membuat manusia selalu kesakitan. Aku tak tahu apa yang dia rasakan saat itu. Yang nyata aku mati kata mati rasa seusai bicara. Bie, jika Kamu berkenan; tolong sampaikan pesanku kepada perempuan itu; aku memang terlalu pengecut untuk menjanjikan sesuatu.

Oia Bie, jika perempuan itu ingin mengutukku; bilang saja iya. Kupikir itu balasan yang setimpal untuk bajingan kecil sepertiku. Bilang saja iya Bie, bilang saja iya.

21 July 2006

Bie, Hati Sudah Pagi Hari Ini

Bie, tahukah kamu bahwa dalam 24 jam sebelum mencatat ini aku telah memesan dua apple shisa. Pertama, ketika di depan pintu sebuah apartemen aku bertemu dengan seorang lelaki yang sedang menulis novel. Tentu saja aku sedikit terkejut sebab pertemuan semacam itu jarang sekali direncanakan. Aku tawarkan rokok kretek yang masih tersisa beberapa batang. Ia tersenyum. Setelah itu kami sepakat untuk bersama-sama menikmati shisa di pasar mobil. Di sana, di bawah temaram langit-saat itu hanya ada bulan sabit-kami berbicara tentang banyak hal. Kawanku tadi menceritakan tentang seorang perempuan yang "dipecat" oleh ibu kandungnya sendiri. Sungguh Bie, semula aku berfikir itu bagian dari novel yang sedang ia garap. Ternyata itu kisah nyata. Justru kawanku tadi yang ingin mengolahnya sebagai salah satu bab dalam novel. Dia sudah memperkirakan judul yang pas: Perempuan, Penyamun, dan Malaikat Tanpa Sayap. Hmm, menurutku bagus. Tapi aku sedang malas berbicara tentang sastra dan segala derivasinya. Aku memilih bercerita tentang apa saja yang aku kerjakan belakangan ini. Aku memilih bercerita tentang teknik membaca buku yang sedikit kumodifikasi. Aku memilih bercerita tentang rencana "kuliah" di tempat lain. Kau tahu Bie, sepertinya kawanku tadi agak jengkel. Dia mengeluh pembicaraan kami kurang fokus kali ini. Ah, semoga dia tahu bahwa hari ini aku sangat letih. Sebagai bentuk tanggungjawab atas kegagalanku menjadi teman ngobrol yang baik, aku mempersilahkannya untuk permisi. Tak ada yang salah Bie, adakalanya aku memang sangat membosankan bahkan menjengkelkan. Kau tentu tahu itu Bie.

Tabung sisha yang kedua aku pesan empat jam setelah kami berpisah. Kau tentu mengerti Bie, dalam hidup ini selalu saja ada yang datang dan pergi. Di sebuah apartemen aku bertemu dengan orang lain. Orang itu yang biasanya menemaniku menyelami malam. Seingatku sudah tiga kali dalam seminggu ini aku keluar bersamanya. Mungkin kali ini memang sedikit istimewa. Sebelum berangkat kami membeli rokok kretek, sebotol air mineral kecil, juga beberapa bungkus makanan ringan. Akhirnya kami sampai di kedai kopi, memesan dua apple sisha dan dua gelas teh. Kau tahu Bie, kami berbicara panjang lebar. Seandainya pemilik kedai itu tak mengusir kami, mungkin saja perbincangan akan terus berlanjut hingga pagi hari. Pada akhirnya manusia harus pulang. Seperti biasa aku tidak tidur di rumah. Tapi aku juga tidak sedang numpang tidur. Sebentar lagi subuh, yang harus dilakukan adalah bertahan dan menjaga agar mata tak takluk oleh kantuk.

Oia Bie, hati sudah pagi hari ini. Lalu kapan kita bertemu untuk berburu pelangi?

Catatan: Tenggorokanku kurang normal dua hari ini. Semoga cepat sehat.

21 June 2006

Tak Ada Yang Asing Jika Kau Merasa Asing

: Sebelum kutukan disempurnakan
Tak ada yang asing jika kau merasa asing. Aku serupa novel yang tergeletak di lorong-lorong sepi sejarah. Sampul tipisku usang tak nyaman dipandang. Lembar-lembar kotor yang hanya menyisakan serpihan paragraf untuk kau baca.

Tak ada yang asing jika kau merasa asing. Perjalananku adalah kering sahara. Setiap jejak yang tertinggal akan hapus oleh deru angin yang berhembus. Butuh lebih dari percakapan singkat yang tersekat ruang. Selama pertemuan kita masih berwujud buih-buih ombak, tak akan mungkin fragmen-fragmen kesunyian kau kumpulkan. Walau kau coba mengumpulkan remah-remah ingatan. Walau kau coba melengkapi puzzle yang berserakan.

Tak ada yang asing jika kau merasa asing. Walau aku bukan lelaki yang hidup dalam cerita misteri. Aku hanya lelaki yang tak fasih berbicara dan memilih mengungkap rasa lewat jalinan kata. Meski menyadari bahwa jujur berarti hancur. Sementara mereka yang dungu malah dianggap guru.

Tak ada yang asing jika kau merasa asing. Lalu apa yang harus diceritakan jika nanti kau ingin berbicara sebagai perempuan? Bukankah sudah lewat hari dimana kubuka ruang-ruang paling rapuh dari jiwa dan tubuh? Maka tak usah kata tak usah tanya. Cukuplah tanda, agar aku merasa nyata merasa ada.

14 June 2006

Dan Metafora Tak Sanggup Lagi Merumuskan Kenyataan

Sudah masuk musim panas. Kau merasa butuh udara baru untuk bernafas. Di negeri yang kau singgahi ini kau merasa kehilangan kepekaan. Deras laju informasi yang membanjir dari layar monitor membuat kepalamu penuh sampah. Mereka bilang itu informasi, bagimu hanyalah gejala-gejala voyeurisme ganjil yang diam-diam mulai menggerogoti hati.

"Om, ga ikut keluar? Ada Sheva lho,"
Sialan! Ucapmu kesal. Jika kau merasa penat sekarang, bukan karena lembar-lembar diktat yang masih ingin disenggamai. Penatmu adalah ingatan yang memutar ulang film Gladiator. Disana mereka mendirikan bangunan-bangunan besar. Yang terbesar diberi nama Colosseum, disana mereka mengadakan pertarungan-pertarungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan binatang, binatang dengan binatang. Saat itu rakyat merayakan histeria tanpa sadar ada yang hilang dari apa yang mereka setorkan sebagai pajak. Di sini sejarah terulang lagi. Manusia masih saja berteriak dan hanyut dalam euforia merayakan lupa.

"Wah, anda bukan homo ludens ya?"
Tiba-tiba kau ingin sekali meluapkan amarah. Bermain adalah bermain. Apa salahnya memilih sendiri di beranda rumah? Bermain bersama kertas dan pena. Menjaring kata dan merangkainya menjadi baris-baris yang tertata?

"Jangan terlalu serius. Nanti cepat aus,"
Kau semakin muak sekarang. Kenapa orang-orang jadi begitu sok tahu apa yang sedang berlaku? Apa sih yang mereka mau, pikirmu. Sementara saat ini kau sedang istirahat; bermain-main dengan koma, titik, dan banyak tanda baca lainnya.

"Pengarang sudah mati."
Ha..ha..ha.., siapa tadi yang bicara? Ucapmu sembari tertawa. Kau hanya merakit kata, bukan menulis novel tentang lelaki yang patah hati setelah sekian lama mencari Tuhan, namun akhirnya menemukanNya di sesela desah nafas perempuan di pinggir jalan.

"Orang seperti kamu sudah banyak. Jangan sok aksi. Nanti cepat basi."
Bukankah orang yang arogan justru lebih banyak? Mereka merasa tahu siapa kita. Menghakimi kita dengan kartu ini dan itu. Memangnya hidup ini sepakbola? Kok ada yang merasa perlu jadi wasit segala?

Ah, langit sudah hitam. Kau bertanya kepada beberapa kawan kapan mereka terakhir melihat kunang-kunang? Kebanyakan bilang masih bertemu kunang-kunang satu dua tahun lalu. Kau merasa iri. Terakhir kali kau bertemu kunang-kunang delapan atau tujuh tahun yang lalu. Itupun bukan di halaman rumah. Kau harus melangkahkan kaki ratusan kilo menuju sawah di desa di mana ibumu dibesarkan.

"Kenapa sih bertanya tentang kunang-kunang?"
Sebab ia tetap berkedip. Meski malam telah larut.

09 June 2006

Surat Menjelang Jum'at

Silahkan saja jika kau merasa kurang dimanusiakan hari ini. Yang jelas, kau memang tak memberiku sebuah alasan mengapa aku harus bercerita kepadamu. Lalu untuk apa aku bercerita? Sementara kau tak bisa meyakinkanku agar sudi membagi perih ini kepadamu. Setiap orang akan mengerti bahwa kesalahan terbesarmu adalah terlalu peduli kepada hal-hal yang tak selayaknya kau pedulikan. Untuk apa? Sementara menjaga diri sendiri kau masih keteteran.

Baiklah. Jika kau memang masih kecewa, semoga penjelasan ini bisa membuatmu bernafas lega. Kau tentu tahu, setiap orang memiliki ruang tersendiri yang hanya diketahui oleh dia dan Tuhan. Tentunya aku juga memiliki ruang itu. Karenanya tak usah menyalahkan diri atas ketidaksopanan dan keingintahuan yang memuakkan itu. Sebab aku sendiri tak tahu untuk apa harus bercerita kepadamu. Ya, menyimpannya sendiri memang terasa perih, namun itu lebih baik daripada membaginya kepada seseorang yang hanya bisa memperlakukanku sebagai seorang perempuan. Bukankah kau sendiri yang bilang untuk sejenak menarik jarak? Lalu apa pedulimu dengan kekosongan yang kurasakan saat ini?

Terakhir, kau harus ingat bahwa aku tidak sedang menjauhimu. Salah jika kau mengira semacam itu. Meski dalam beberapa kesempatan aku merasa nyaman berada di dekatmu, bukan berarti aku akan memberi kunci almari hati kepadamu. Catat itu.

p.s: surat imajiner dari seseorang yang hanya tinggal di ruang imaji

Lantas Sampai Kapan Engkau Menyimpan Badai

Lantas sampai kapan engkau menyimpan badai?
Lantas sampai kapan engkau menyimpan?
Lantas sampai kapan engkau?
Lantas sampai kapan?
Lantas sampai kapan engkau?
Lantas sampai kapan engkau menyimpan?
Lantas sampai kapan engkau menyimpan badai?

06 June 2006

20 Kata, 4 Titik dan 4 Koma

Apa yang bisa dilakukan dengan 20 kata, 4 titik dan 4 koma? Bagi orang lain tak akan melahirkan sesuatu yang berbahaya. Namun tidak untukmu. 20 kata, 4 titik dan 4 koma telah membuatmu merasa bersalah. Getir yang mengalir malam ini menyadarkanmu bahwa sejumlah kata yang kau kirimkan kepada seseorang, telah membuatnya merasa perih. Sungguh, adakah yang lebih jahat selain mengirimkan kesakitan yang sedang kau rasakan? Bukankah itu akan membuat dia larut dalam kesedihan?

Ah, kau memang penjahat. Seharusnya kau mati sejak dulu. Tak selayaknya kau memandang wajah yang hanya ada dalam alam imajiner di tempurung kepalamu yang kosong. Mengapa tak kau beri kesempatan dia untuk menarik diri. Semacam pengendapan perasaan. Bukankah kau juga masih berharap suatu saat dia akan menyapamu dan berkata, aku telah membacamu.

Tapi sudahlah. Yang harus kau lakukan sekarang adalah belajar untuk diam. Agar tak ada lagi kesakitan yang lahir kembali.

Ah, satu lagi. Matikan lagu James Blunt yang sejak tiga hari ini selalu mengalun dari speakermu. Aku tahu, kau ingin menyanyikan lagu itu untuknya. Tunggu saja. Mungkin sang Takdir akan mempertemukan kau dan dia di salah satu sudut kota. Kapan? Entahlah. Biarkan Sang Takdir menentukan.

05 June 2006

Aksi Blogger Indonesia Untuk Jogja


AKSI BLOGGER INDONESIA UNTUK JOGJA



Gempa dengan kekuatan 6 SR telah menggoncang Jogjakarta pada tanggal 27 Mei 2006 yang lalu. Hingga saat ini estimasi korban meninggal telah mencapai 5000 orang, belum termasuk ribuan orang luka-luka, dan ribuan rumah rusak.

Akankah kita berdiam diri melihat saudara-saudara kita menangis? Sanggupkah kita makan dan tidur dengan nyaman selagi mereka--saudara kita--kelaparan dan kedinginan?

Marilah kita berhenti mengetik dikeyboard dan berhenti tertawa sejenak sambil merenungkan, jika kejadian ini terjadi pada kita ataupun keluarga kita. Mari kita tunjukkan, solidaritas kita mengalahkan jarak dan batasan apapun yang ada di depan mata.

Sisihkanlah beberapa lembar receh dari dompet teman-teman, yang Insya Allah, semoga akan dibalas dengan pahala yang berlipat ganda. Uang receh seharga sebungkus rokok, sejam billing di warnet, sekaleng minuman soft drink, berapapun itu jumlahnya jika kita gabungkan bersama pasti akan berarti.

Kami sangat mengharapkan partisipasinya. Silahkan klik banner diatas untuk informasi lebih lanjut. Terima kasih.

Terkutuklah Aku Yang Tak Bisa Membaca Jejakmu

Adalah aku, pejalan yang menempuh hidup mencari tempat berteduh, pemulung remah-remah peradaban yang berserakan, memilihnya sedemikian rupa, mencatatkannya agar tetap abadi meski digerus laju masa.

Bersyukurlah aku tatkala rotasi waktu mengantar aku di sebuah kota dimana kudapati engkau disana. O, siapa yang tak bahagia berjumpa saudara tua, kawan menempuh jalan menuju pencapaian. Aku dan engkau, kita berteriak lepas mengikrarkan persekutuan. Meminta langit jadi saksi tentang setia abadi.

Kemudian senja menyapa. Mengajak kita mengambil jeda. Tubuh yang lelah butuh istirah.

Ah, betapa syahdu menikmati merdu disitu
Betapa syahdu menikmati merdu disitu

Namun terkutuklah aku yang memuja sebuah nama. Tanpa sempat membaca jejakmu yang bersemayam disana. Maka terkutuk aku untuk kesekian kali, sebab mencoba membangun rumah di tanah yang lebih dulu kau tanami. Engkau lebih dulu menghitung waktu di danau itu. Engkau lebih dulu menghitung waktu di danau itu.

Adalah aku, pejalan yang menempuh hidup mencari tempat berteduh, pemulung remah-remah peradaban yang berserakan, memilihnya sedemikian rupa, mencatatkannya agar tetap abadi meski digerus laju masa.

(Bagian terakhir dari tiga catatan. Semoga cukup sampai disini saja)

03 June 2006

Sebab Aku Debu Bukan Batu

Kau bilang akan mencatatku,

Ah, tak perlu kataku
Sebab aku debu bukan batu
Kau bisa menghapusku kapan engkau mau

Puisi Joko Pinurbo dalam Telepon Genggam

Mata

Ada tiga mata bertemu di kafe itu:
matasenja, matakata dan matangantuk.

Matasenja lekas terpejam karena hujan bilang
pertemuan ini memang jatahnya malam.

Matakata minus delapan karena katakata
waduh mabuk berat dihajar kenangan.

Matangantuk merah merindu melihat botol bir
makin penuh dengan air matamu.


Selamat Malam, Kanibal

Kita datang ke perjamuan seperti pernah kita janjikan
Kau sangat lapar, aku ingin kenyang.

Selamat makan. Hujan sangat kanibal: ia habiskan derau hujan sebelum sempat kita cicipi harum hujan.

Ayo minum. Matamu sangat kanibal: mereguk mataku sepenuh ambigu sebelum mataku meneguk matamu.

Apa lagi yang akan kau santap, hai kanibal, bila senja yang belum matang juga lenyap dilahap malam?

Oh ya, masih ada anggur darah. Kita muntah-muntah.
Kau muntah rindu, aku muntah waktu.

Kita pulang membawa sesal. Selamat malam, kanibal!
Kau melenggang ke kiri, aku menghilang ke kanan.
Kita berpisah sebelum sempat saling menghabiskan.

Selesai Sudah Tugasku Menulis Puisi

sebab kata-kata sudah besar, sudah selesai studi, dan mereka harus pergi cari kerja sendiri.

Rhapsody on a Windy Night By TS Elliot

Twelve o'clock.
Along the reaches of the street
Held in a lunar synthesis,
Whispering lunar incantations
Disolve the floors of memory
And all its clear relations,
Its divisions and precisions,
Every street lamp that I pass
Beats like a fatalistic drum,
And through the spaces of the dark
Midnight shakes the memory
As a madman shakes a dead geranium.

Half-past one,
The street lamp sputtered,
The street lamp muttered,
The street lamp said,
"Regard that woman
Who hesitates toward you in the light of the door
Which opens on her like a grin.
You see the border of her dress
Is torn and stained with sand,
And you see the corner of her eye
Twists like a crooked pin."

The memory throws up high and dry
A crowd of twisted things;
A twisted branch upon the beach
Eaten smooth, and polished
As if the world gave up
The secret of its skeleton,
Stiff and white.
A broken spring in a factory yard,
Rust that clings to the form that the strength has left
Hard and curled and ready to snap.

Half-past two,
The street-lamp said,
"Remark the cat which flattens itself in the gutter,
Slips out its tongue
And devours a morsel of rancid butter."
So the hand of the child, automatic,
Slipped out and pocketed a toy that was running along
the quay.
I could see nothing behind that child's eye.
I have seen eyes in the street
Trying to peer through lighted shutters,
And a crab one afternoon in a pool,
An old crab with barnacles on his back,
Gripped the end of a stick which I held him.

Half-past three,
The lamp sputtered,
The lamp muttered in the dark.

The lamp hummed:
"Regard the moon,
La lune ne garde aucune rancune,
She winks a feeble eye,
She smiles into corners.
She smooths the hair of the grass.
The moon has lost her memory.
A washed-out smallpox cracks her face,
Her hand twists a paper rose,
That smells of dust and old Cologne,
She is alone With all the old nocturnal smells
That cross and cross across her brain.
The reminiscence comes
Of sunless dry geraniums
And dust in crevices,
Smells of chestnuts in the streets
And female smells in shuttered rooms
And cigarettes in corridors
And cocktail smells in bars."

The lamp said,
"Four o'clock,
Here is the number on the door.
Memory!
You have the key,
The little lamp spreads a ring on the stair,
Mount.
The bed is open; the tooth-brush hangs on the wall,
Put your shoes at the door, sleep, prepare for life."

The last twist of the knife.

Lihat!


Lihat! Lihat di lazuardi! terlalu merah dinikmati seorang diri
Lihat! Lihat luas air itu! terlalu luas dijelajahi tanpamu

Kapan

Menghabiskan renung di Seminung
Senja tetap saja jumawa
Menjaring mendung di Banding Agung
Tak memberi tetes asa

O, Putri penjaga bumi
Lalu kapan kau sudi temani melukis pelangi
Sementara tak ada jawaban kutemukan di selatan Barisan

02 June 2006

Sebelum Waktu Pergi dan Berlari

Hasrat harus segera dituntaskan sebelum runcing waktu membunuh sensitifitas tubuhku. Akan kupercikkan cahaya agar aku bisa menangkap jelas dimana malaikat itu tengah berada.

Seperti malam kau terdiam. Cangkir kopi dan bungkus rokok kretek menemanimu mengeja kesunyian. Seperti malam, hatimu teduh namun riuh. Laju kendaraan yang lalu-lalang diselingi teriakan klakson menjadi instrumen tersendiri dalam lantunan komposisi dini hari.

"Zahra! Zahra!" teriak seseorang yang berdiri di ujung jalan. O, andai kebekuan bisa rampung di sebuah ujung, tentu bulan tak perlu menyembunyikan kemolekan dibalik cadar hitam. Orang-orang bilang itu bulan sabit. Bagimu itu adalah amsal agar manusia bisa bersabar, bahwa keindahan tak bisa dinikmati sekali jadi.

Kau tercenung. Cangkir kopi di hadapanmu mengingatkan akan seorang bijak yang berkata, "Kau tahu, tak mungkin kau terjaga di pagi hari lantas mendapati secangkir kopi susu. Kau harus bangun lebih dini, menyeduh air, menyiapkan cangkir dan menambahkan kopi, gula atau apa saja yang kau suka, baru kau bisa menikmatinya."

Kau tersenyum. Untuk hal sesederhana itu harus ada orang lain yang memberimu ingat. Maka detik itu pula ada perasaan aneh yang menelusup dalam dada. Hangat, semacam cinta. Tapi kau tahu, kehangatan tak selalu membuatmu merasa nyaman.

"Musim semi sudah lewat," ucap perempuan yang kau temui kemarin siang. Kau ingin sepakat, mesti tak mudah. Bagaimana bisa musim semi sudah lewat, sementara bunga-bunga sedang bermekaran di pembatas jalan. Jika ini musim panas, mengapa matahari tak kunjung mengamuk ganas?

"Sebuah jawaban tak musti membuat keadaan jadi lebih baik," demikianlah jawaban yang diberikan Adam kepada Hawa di sebuah ruang waktu setelah sekian lama takdir memisahkan mereka berdua. Jawaban cerdas, pikirmu. Meski kau tahu bukan itu yang diperlukan saat ini. Kau butuh pasti. Supaya kelam yang lama tertanam segera tiwikrama. Bukan jadi raksasa, tapi jadi taman bunga tempatmu tinggal menghitung usia.

Ah, kau ingin sekali melanjutkan perbincangan yang terjeda. Sebab kau tahu pasti besok pagi akan mati. Sebab kau tahu besok pagi akan mati.

p.s: Bagian kedua dari tiga catatan. Catatan pertama telah sampai di salah satu pengguna Yahoo. bagian terakhir masih diendapkan di ruang ide penulis. Doakan agar segera usai.

27 May 2006

Semoga Tangis Segera Reda

Kairo masih gelap saat pesan singkat itu masuk. Seorang kawan di Klaten mengabarkan ada gempa di Jogja dan Klaten. Aku tertegun. Ada gempa yang sama dalam dada. Gemuruh yang memuntahkan pijar gelisah, meluluh lantakkan sebaris kenangan indah.

Jogja, bukan lapak-lapak buku murah yang mengobati dahaga wacana.
Jogja, bukan obrolan-obrolan mencerdaskan di warung angkringan.
Jogja, bukan puisi yang menari di jalanan Malioboro.
Jogja, bukan tawa ceria debur ombak laut Selatan
Jogja, bukan cangkir kopi dan nikmat kretek di Kaliurang

Jogja hari ini adalah wajah-wajah gelisah, tubuh luka penuh darah, mata yang hujan, bangunan merata bumi, jalan pecah bergelombang, raung sirine menyayat hati, dan segala bentuk ketidaknyamanan lain.

Aku di sini hanya bisa menatap langit kosong, bersih tanpa awan. Tapi di sini, di dada ini, hati luruh diguyur hujan. Berharap doa tak moksa sebelum mencapai langitNya.

Semoga tangis segera reda
Duduk lagi kita di sana
Di Tugu
Di kota lama
Di kota kita
Jogjakarta

20 May 2006

Tugasku Sebagai Manusia Belum Purna

Belakangan ini aroma kematian menyelimutiku. Banyak yang pergi dan tak mungkin kembali. Tiba-tiba aku merasa takut. Takut jika hal yang sama terjadi padaku. Sekian tahun perjalanan hidup tak membuatku bisa meninggalkan sesuatu untuk dunia di mana aku lahir dan tumbuh.

Sudah banyak orang-orang yang mati muda. Ada yang tercatat, lebih banyak yang dilupakan. Aku, boleh jadi akan masuk kelompok kedua. Hanya serupa debu, terbang dan melintas lalu.

Andai bisa, aku masih ingin hidup dua atau tiga tahun lagi. Setidaknya masih banyak hal-hal yang tertunda dan harus segera dilaksanakan. Tugasku sebagai manusia belum purna. Tugasku sebagai manusia belum purna.

See You, Mr Mahmud

"Ibarat benang dan jarum jahitan,kapan dan kemanapun sang penjahit ingin menarik jarumnya saat itu pula benang tersebut akan mengikuti. Demikian matsal ajal dan mahkluk yang bernyawa. Tua ataupun muda pasti akan menyambut tamu ini!"

Baris kalimat itu ditulis seorang kawan saat mereply surat belasungkawa atas meninggalnya Ustadz Mahmud MS, guru bahasa Inggris kami di MAKN Solo. Jelas saja aku merasa kehilangan. Beliau adalah guru paling canggih dalam mengajar bahasa Inggris. Di kelas, kami benar-benar hampir tidak "diajar". Membuka kelas dengan sedikit berbincang tentang hal-hal diluar diktat, dilanjutkan dengan membuka sesi tanya jawab. Jika ada yang bertanya kelas dilanjutkan. Jika tidak, beliau langsung keluar kelas sambil mengucap salam.

Gila! Pikirku pada mulanya. Tapi di pertemuan selanjutnya baru dijelaskan, jika tak ada pertanyaan berarti muridnya sudah pinter dan guru ga perlu ngajar lagi. Oo.. jadi ini yang dimaksud dengan metode siswa aktif. Memang tak semua penghuni kelas cocok dengan model ini. Ada yang mengeluh tidak "mendapatkan apa-apa" saat di kelas, tapi ada juga yang jadi begitu antusias belajar dan sumringah setelah mengikuti kelas. Sisanya, ya yang semacam saya, yang biasa-biasa saja. Tak terlalu bersemangat dan tidak pula kecewa.

Yang pasti, dari beliau saya (dan mungkin kawan-kawan lain) belajar bagaimana seharusnya manusia belajar. Bahwa guru bukan keran dan murid bukan gelas yang harus diisi. Lagipula, jika menilik ranah etimologis, kata murid itu kan dari bahasa Arab yang artinya "orang yang menginginkan sesuatu". Sudah semestinya jika murid yang aktif dan bukan hanya diam. Kosakata Arab sendiri lebih sering menggunakan kata tholib, yang artinya ga jauh beda, yaitu "orang yang menuntut ".

Ok, soal apa yang diinginkan dan dicari itu pilihan. Ada yang mencari nilai (baca: deretan angka-angka di atas kertas) dan ada pula yang lain. Apapun itu, sudah jelas bahwa dalam belajar seorang manusia harus aktif. Ia sendiri yang tahu apa yang harus dicari dan dipelajari. Itu saja.

Thank's to Mr. Mahmud for being my inspiration on learning
.

Semoga pencerahan selama ini menjadi amal kebaikan di mataNya.

18 May 2006

Semacam Pertaruhan

Tidak sesederhana menatap kaca. Di kamarmu ada beragam warna dan citarasa berpadu jadi satu. Kamu harus menyibak satu per satu lembar yang tersaji. Mencatat apa yang perlu dan membiarkan sisanya berlalu.

Kamu tentu tahu bahwa itu semacam pertaruhan. Jika harus menghitung peluang, sepertinya terlalu tipis kemungkinan menang. Meski begitu, kau baru saja menemukan satu kata dalam kamus usang di samping kasur.

Unpredictable (adj) unforeseeable, uncertain, not predictable

Sekali lagi kamu masih bisa tersenyum. A fake smile. An artificial smile.

Tanpa Judul - 180506

Tiba-tiba malam ini kamu ingin keramaian. Setelah terhisap dalam histeria akut pendukung Barca kau bergerak menjelajahi ruang gelap di pojok apartemen. Mereka menyebutnya gudang. Tapi mereka tak tahu, di tempat itu Tan Malaka berlari diantara hutan dan semak belukar menggendong Madilog. Kemudian Ibnu Hazm mencatat patah hati yang menyerangnya berulang kali. Ibnu Rusyd melukis puisi-puisi sesaat sebelum datang Al Ghazali yang menawarkan secangkir kopi.

"Nak, aku percaya engkau belajar,"

Tok...tok...tok...
Dari balik pintu sosok bertopeng hitam datang. Bukan penjahat, ia kawanku juga. Seorang Zapatista dengan topi pet hijau dan pipa di mulut.

"Permisi. Aku numpang mencatat mimpi,"
"Oh, silahkan. Bagaimana kabar kawan-kawan Chiapas?"

Sub diam. Ia meraih notes di meja juga pena. Melawan dengan kata, ucapnya.

Dari kamar sebelah Sayyid Quthb datang. Ia lagi frustasi. Enggan menulis lagi. Menurutnya kata-kata sudah tak lagi berguna. Cukup sepucuk pistol, beberapa butir pelor dan suara dor. Kamu tak percaya. Manusia perlu dibangunkan. Ini semacam penyadaran. Bukan soal darah.

Quthb permisi. Hendak menulis lagi. Beberapa menit kemudian ada pesan singkat masuk: Quthb mati di tiang gantungan

Diam-diam kamu menangis. Semacam kehilangan. Lalu Bapak datang membawa amplop putih. Bapak hanya bertanya, "Butuh apa?"

Kamu lagi butuh senjata. Bapak baru punya satu setengah juta.

Hari sudah pagi tapi aku masih bermimpi.

03 May 2006

Tanpa Judul

Seperti hari-hari yang lalu kita tetap memasung rindu. Tak membolehkannya untuk sejenak beranjak dari ruang kalbu. Sebagaimana hari-hari yang lalu kita tetap memilih bisu. Tak membiarkannya sejenak keluar dari ruang hampa.

Sebagaimana biasa kita tetap menyimpan rasa, enggan membaca dan merobek-robek damba dalam dada. Yah, sebagaimana biasa: kita tetap saling mencintai dengan cara tersendiri.

Pram, Selamat Jalan

Mengenang Pramoedya Ananta Toer (1925-2006)

Aku bukan seorang Pramis. Meski sudah beberapa tahun kenal lewat karyanya yang dipajang di toko buku. Itupun tak semuanya terbaca. Hanya beberapa judul yang sempat kulahap. Setelah bergaul dengan manusia melek sastra aku baru sadar bahwa Pram adalah orang besar. Puluhan buku yang dihasilkan serta beberapa kali masuk nominasi penghargaan Nobel sastra adalah bukti eksistensi Pram sebagai manusia sebenar, bukan sekedar.

Pram bagiku adalah potret nyata sebuah dedikasi. Upaya-upaya yang ia lakukan untuk mencatat hidup merupakan bukti kesadaran diri. Pram bukan orang yang setengah jadi. Ia mempertaruhkan hidupnya demi sebuah prinsip yang diyakini sebagai sebuah kebenaran. Untuk hal satu ini kita berhutang kepadanya.

Aku bukan seorang Pramis. Meski begitu banyak yang aku ambil darinya. Tentang Jawanisme misalnya. Jawanisme bukan sekedar Jawa-sentris, yang mana menjadikan Jawa seagai pusat dan barometer kekuasaan. Jawanisme yang ditentang Pram adalah sikap taat dan setia pada atasan. Sikap inilah yang akan berujung kepada fasisme Jawa, sebuah sistem yang tumbuh dan berkembang pesat dalam masa Soeharto.

baca lebih lengkap

18 April 2006

Sajak Nanang Musha

AKU TAK PUNYA AIR MATA LAGI
Aku tak punya air mata lagi
Sejak air susu ibu enggan keluar
Untuk bayi-bayi lapar

SEPENIGGAL WINDU
: untuk M di kota M
Sepeninggal windu
Kita biarkan bisu menyelimuti tubuh
Makin rapuh
Tak lagi utuh

Sepeninggal windu
Kita biarkan diam membungkus malam
Makin kelam
Tak lagi dalam

Sepeninggal windu
Kita biarkan sepi membunuh mimpi
Makin mati
Tak lagi nyanyi

ABSTRAKSI DUA DIMENSI
Kau minum air
Aku pasir

Kau makan roti
Aku tahi

Kau cumbu mempelai
Aku keledai

Kau manusia
Aku apa?

DENDANG PULANG
In memoriam : Hernianto
Kemarin malaikat menjemputmu
Mengajak pulang ke negeri lapang
Dengan selaksa bidadari dan hamparan permadani seribu bumi

Malam ini sampaikan padaNya
Aku ingin turut bersama
Sebelum habis tetes peluh
Sebelum berhenti sungai keluh

29 January 2006

Senandung Senja Untuk Adinda

:Kikan
Mungkin terlalu klise. Hanya menjadi apologi basi saat kau membaca surat ini. Tapi bagaimana lagi? Hidup selalu menjadi misteri yang tak mudah dijejaki. Semoga kau tahu, disini aku senantiasa melantunkan puja-puji, agar beliau mendapatkan tempat terbaik disisiNya. Entah kau rasakan tidak, yang pasti disini aku masih diselimuti mendung yang membuat gundah tak terbendung. Aku merasa tak berarti. Bukankah seharusnya aku berada disana menemanimu mereguk duka? Dan aku hanya bisa menulis surat ini yang entah kau baca atau tidak.

Dek, kali ini aku tak akan memberimu wejangan seperti biasa. Di usiamu yang muda, Sang Hidup telah mengajarimu bab-bab terpenting yang belum pernah kuraba. Aku bohong jika bilang bahwa aku bisa merasakan apa yang kau rasa sekarang. Namun sebuah nyata bila sepersekian duka di hatimu ada padaku. Sungguh tak mudah melepas seseorang yang amat sangat disayangi. Namun kelapangan hatimulah yang akan memberi arti, bahwa hidup tetap harus dilakoni dengan keyakinan. Keyakinan bahwa segala yang ada adalah milikNya dan pada sebuah masa akan kembali kepadaNya.

Dek, kau masih ingat setahun yang lalu? Sebuah hari saat kita merayakan ulang tahunmu? Awalnya tak mudah bukan? Namun halangan yang ada justru membuat kita lebih nyaman saat bersama. Hanya kesabaranlah yang akan membuat sebuah akhir terasa indah. Semoga.

Segalanya milik Allah, dan hanya kepadaNya lah kita kembali...

Setelah Aku Pergi

:AKJ
Kenapa tiba-tiba wajahmu yang singgah? Dan tak sebentar. Sudah 2 kali putaran bumi dan kau tak segera pergi. Bukankah kau pernah bilang tak akan lagi menyapaku? Duh Gusti! Ujian apalagi untuk saat ini. Padahal sudah lama aku menghapus semua tentangmu dari file ingatanku. Tak mungkin kualamatkan rindu kepadamu. Sebab jarak telah memisahkan anak dari ibunya. Dan itu kau; perempuan yang pernah kupinang untuk menjadi ibu bagi puisiku. Dan kau menolaknya. Lantas untuk apa? Layakkah kuantarkan pulang luka menuju ibunya? Sementara kau tetap enggan memberi pengakuan bahwa anak-anak itu terlahir dari persetubuhan kita?
Memang sejarah tak sempat mencatat episode-episode yang pernah kita lakoni bersama. Namun dalam keterbatasan itu jejakmu telah tertinggal di hatiku. Dan seiring berlalunya waktu bekas itu telah mengering, serupa tembikar yang mengeras ditempa panas yang tak sebentar. Sungguh, bukan tak sengaja saat kenyataan memaksaku membanting guci itu. Meski harus sakit oleh tangan sendiri. Seperti mencicipi nikmatnya mati. Namun apalagi yang bisa kulakukan? Bukankah menyimpannya akan terasa pedih??

Sepertinya Esok Masih Ada Senja

untuk seorang kawan seperjuangan
Kawan, memang baru kemarin aku tiba dan membaca suasana disini, di tempat yang kita tinggali bersama kini. Sejujurnya tak layak jika aku berkata telah tuntas menerjemahkanmu. Bukankah masih ada dia yang lebih mengerti akanmu. Lebih lama menyelami waktu bersamamu. Bahkan kulihat begitu sedihnya kau saat dia pergi untuk sebuah janji. Sungguh aku memahami itu semua.

Semoga ini bukan sebuah kelancangan. Tanpa menafikan dia, aku bertanya: bukankah masih ada cinta dari orang lain? Memang aku tak berani menjanjikan sesuatu untukmu. Hanya saja perjalanan telah membawa kita pada ruang dan waktu yang sama. Mengapa tidak kau bagi sedih, sesak, sakit, dan segala bentuk rasa tak nyaman lainnya kepadaku? Agar kata kawan bukan sekedar ucapan. Tak mengapa jika kau marah saat membaca surat ini. Mungkin yang terlintas di benakmu adalah sebaris kata berikut ini: bagaimana aku bisa bercerita jika kau tak pernah benar-benar ada?. Mungkin kau benar. Aku terlalu jauh darimu, juga kawan yang lain. Tapi aku ingin kau mengerti bahwa aku butuh sendiri. Aku butuh sepi. Namun bukan berarti dalam sepi aku hanya menikmati tubuh sendiri. Tidak. Selalu saja terlintas segala sesuatu akanmu yang terkadang membuatku merasa tak nyaman.

Ini tentang sebuah kaca buram yang terpasang diantara kita. Entah siapa yang meletakkannya disana. Mungkin aku, kau, atau bahkan datang dengan sendirinya. Kau tahu, kaca itulah yang selama ini menjadi pemisah antara kita. Menyulitkan aku untuk bisa memandangmu. Menghalangiku untuk bisa memelukmu.

Aku terkejut saat tahu bahwa kenyataan tak bersahabat denganmu. Namun kekalahan bukanlah akhir. Bukankah hidup adalah perang? Boleh jadi kalah dalam sebuah pertempuran tapi tidak untuk menyerah. Selama kita masih bernyawa, esok masih ada senja. Aku tak bermaksud menghiburmu. Sungguh pahit memang harus bertahan lebih lama dalam kondisi tak nyaman. Tapi setidaknya kau masih punya cinta. Dari dia, mereka, juga aku. Itu akan membuatmu lebih kuat saat berhadapan dengan takdir yang tak bersahabat. Kata Metallica:”Pain makes you stronger”.

Maafkan jika harus menitipkan perasaan lewat kata. Sungguh selama kaca buram itu masih ada, kita tak akan bisa menyatukan jiwa. Sekali lagi maaf, atas segala hal yang membuatmu merasa tak nyaman semenjak aku berada disini. Bagaimanapun, itu bukan buah dari kesengajaan. Layaknya manusia lain, aku juga memiliki sisi berbeda. Ingat katamu:”Kita adalah beda”

Akhirnya, selamat berjuang. Melanjutkan kehidupan agar harapan bisa terwujudkan. Bukankah kita berada disini untuk sesuatu yang baik?

Salam cinta,

Nanang Musha

Hanya Aku dan DIA Yang Tahu

Angka di sudut kanan bawah layar monitor menunjuk angka 02:59 AM. Lazimnya kalian akan menggunakan saat-saat seperti ini untuk bercumbu dengan-Nya. Menumpahkan keluh kesah dan segala gelisah, menerbangkan doa dan puja-puji kepada Sang Pemberi. Tapi tidak denganku, saat ini membunuh waktu dengan kata-kata penuh bunga namun miskin makna. Yah, itulah aku, suka atau tidak, aku yang tiada ini telah diadakan oleh Yang Ada. Nikmati saja, toh dalam bebas selalu ada batas.

Dari speaker yang terpasang, lamat-lamat lagu Menanti Sebuah Jawaban dari Padi mengalun. Begitu syahdu. Disini, di tempat dimana sepi begitu merajai, diam-diam dalam otakku tumbuh semacam khayalan. Selalu berharap bukan Fadly yang menyanyikannya, tapi aku, aku sendiri yang menyanyikan lagu ini. Jangan salah sangka, aku tidak sedang merindukan seseorang. Juga tidak sedang berharap bisa memiliki seorang bidadari yang pernah menginap dalam hati. No, absolutely not. Aku hanya sedang mangkel saja. Mangkel pada seseorang yang tak perlu kusebut namanya. Menanti sebuah jawaban, atau mungkin tanggapan. Ah, entahlah. Aku sendiri bingung bagaimana menyikapi hal ini.

Hmm, mungkin kalimat dibawah ini cukup mewakili gundah dalam hati;

Seperti doa sang durjana yang tak mampu menyentuh langitnya, mimpi sederhana hangus dalam bibir kepundanmu yang meletus. Duhai bumi, jika persembahanku memang tak berarti, maka harus dengan apa lagi kuberi agar kau mengerti?
Sekedar sapa atau tanda, agar aku benar-benar merasa ada.