19 December 2005

Does God Exist?

Buddha was seated among his disciples one morning when a man approached the gathering. "Does God exist," he asked.
"Yes, God exists," Buddha answered.
After lunch, another man appeared. "Does God exist?" he asked.
"No, God does not exist," Buddha answered.
Late in the day, a third man asked Buddha the same question, and Buddha's response was: "You must decide for yourself."
"Master, this is absurd," said one of the disciples. "How can you give three different answers to the same question?"
"Because they were different persons," answered the Enlightened One. "And each person approaches God in his own way: some with certainty, some with denial and some with doubt."

The Maktub: 35

God's Decisions Are Mysterious;

but they are always in our favor

"Let's go to the mountain where God abides," said a cavalier to his friend. "I want to prove that all He knows how to do is to ask things of us, while he does nothing to provide us with relief from our burdens."
"Well, I'm going there to demonstrate my faith," said the other.
They arrived at the top of the mountain at night -- and they heard a voice in the darkness: "Load down your horses with the stones from the ground."
"See?!" said the first cavalier. "After a climb like that, he wants to make us carry an even heavier burden. I shall not obey!"
The second did as the voice had bidden. As he reached the foot of the mountain, it was dawn, and the first rays of the sun shone upon the stone that the pious cavalier had carried: they were the purest of diamonds."

The Maktub: 21

06 December 2005

Akhirnya

Apa arti menunggu untukmu? Sebuah pekerjaan yang menjemukan untuk mendapatkan sebuah kepastian? Jika itu yang ada di kepala saat ini, maka hal itupula yang ada dalam benak saya. Dan pada sebuah titik, segala rasa tak nyaman itu akan pupus seiring terjawabnya pertanyaan tentang pasti. Tentu dengan sebuah syarat, selama kepastian itu adalah sesuatu yang membuatmu merasa nyaman, lega dan terpuaskan.
Seperti yang saya rasakan sekarang ini. betapa lega dan puasnya setelah menerima imel yang mengabarkan bahwa salah satu cerpen saya masuk dalam Antologi Cerpen KSW 2005. "Ah, cuma segitu doang" ucap seseorang. Lantas apa??! bagi saya pribadi, setidaknya itu bisa menjadi pengobat rasa kecewa saya karena sejak 8 bulan sebelum menginjakkan kaki ke Mesir, sudah berulangkali saya mengirimkan karya ke berbagai media dan sayembara namun tak satupun yang berhasil tembus.
Untuk itu tolong dimengerti, setidaknya berilah sedikit waktu untuk menikmati euphoria meski tak lama. Tentu disertai semacam doa agar proses tak berhenti sampai disini. Sebab saya masih punya segudang mimpi yang harus terealisasi.

03 December 2005

Catatan Akhir (Awal) Tahun

Betapa tidaknya mudahnya menjadi sesuatu yang berharga, kalimat itu yang kutemukan diantara remah-remah perjalanan menempuh hidup. Saat sebuah pertanyaan dilontarkan, tentang seberapa besar arti kehadiran bagi peradaban manusia yang terus berkelanjutan ini. Aku tidak (atau belum) memberi kontribusi yang berarti. Sungguh memalukan. Bahkan sampah (organik)pun mampu menyuburkan tanah di mana ia ditanam. Dan aku? Hanya virus penumbuh penyakit belaka. Ah, bahkan viruspun terlalu agung untuk kusandang. Setidaknya setiap orang yang sakit dan mampu bersabar akan mendapat ganti dariNya atau bahkan terhapusnya dosa. Tapi aku?

Memang aku tak benar-benar tahu, seberapa besarkah sumbangsih yang harus diberikan agar seseorang layak dicatat dalam sejarah. Jujur saja, aku tak (atau belum) memiliki sesuatu untuk kuberikan. Sebaliknya, betapa banyak yang telah aku terima dari kalian, juga mereka yang telah rela atau tidak rela berbagi irisan-irisan pengalaman. "I'm sorry, I can't be perfect." Penggalan lagu Simple Plan yang kadang mengalun dari mulut pendosa ini. Maka maafkan, jika sebagai anak aku tak (atau belum) bisa membuat Bapak dan Bunda berbangga. Maka maafkan, jika sebagai adik aku tak (atau belum) bisa meneladani sikap mulia. Maka maafkan, jika sebagai kakak aku tak (atau belum) mampu memberikan teladan. Dan maafkan, karena sebagai kawan aku hanya menitipkan segala bentuk rasa tak nyaman dalam tubuh dan jiwa kalian.

Mohon dimaklumi. Saat ini aku sedang bertumbuh, berupaya menjadi pribadi yang utuh. Beribu terima kasih untuk kalian, juga mereka yang telah membuatku "merasa" berharga. Semua masukan, kritik, puja-puji juga caci maki yang kalian beri, sehingga aku tersadarkan bahwa hidup masih harus diperjuangkan. Selagi hari masih pagi, selagi mimpi belum mati.

08 November 2005

Monolog Sunyi

Aku hanya lelaki biasa yang menyimpan sepi dalam dada. Menikmati hari dengan menanam puisi di beranda hati. Menjauh dari riuh dan gaduh. Aku hanya lelaki biasa yang menyimpan sepi dalam dada. Merawat sajak-sajak yang lahir tanpa ibu. Membesarkan mereka dalam kembara yang basah oleh keringat bahkan darah. Melantunkan doa kepadaNya agar saat itu tiba, anak-anak bisa berdiri sendiri, bahkan berlari tanpa harus ditemani.

Dan hidup makin pekat. Tercemar debu mencekat. Sementara laku baru separuh. Tapi aku lemah dihantam keruh. Duhai matahari, bulan, bintang dan pelangi. Segera kemari, beri setitik sahaja perkasa, pesona juga warna. Agar hidup tak berhenti saat ini. Segera kemari. Sebelum jantung lelah berdegup. Sebelum udara enggan terhirup.

Duhai awan, hujan, sungai dan telaga. Cepat kesini. Beri setetes air untuk dahaga yang tak tertahankan. Agar perjalanan bisa dilanjutkan. Cepat kesini. Sebelum kaki mati lemah. Sebelum tubuh lunglai lungkrah.

(dalam lelapnya lelaki biasa yang menyimpan sepi di dadanya bertemu matahari, bulan, bintang, pelangi, awan, hujan,sungai dan telaga. Dan saat terjaga, ia temukan bungkusan berisi segala yang ia minta sebelum tidur)

04 November 2005

Sajak I

Doa Yang Tak Biasa

Tuhan
Sudikah engkau memberiku sedikit amnesia
Agar aku tak terlalu menyekutukanMu
Karna terlalu memujanya

Berburu Waktu

Berburu waktu
Dalam perjalanan yang purba
Berharap menemukan diri
Pada sebuah persinggahan

Namun arti tak datang sebelum ada pasti
Bahwa raga berujung pada sebuah titik :
Mati

Ritual di Sebuah Pagi

Ternyata
Damai bersembunyi disebuah cangkir kopi
Ketika matahari menyapa bumi
Beruluk salam bagi seorang penghuni

Catatan Kecil

I
Senja itu kau datang menagih hutang
Tapi aku tak punya apa-apa selain kata
Bagaimana jika kuberi engkau selembar puisi
untuk kau baca
Lalu kau simpan dalam almari rasa

II
Membaca dalam sebuah tamu
Tak ada kesimpulan baku
Mungkin, aku butuh tambahan waktu
Agar bisa menerjemahkanmu

III
Saat takdir enggan berdamai dengan ingin
Apakah mungkin menemukan aku dengan bercermin

dimuat juga di buletin MISYKATI

Menanam Mentari

aku akan menanam mentari di jendela hati
hingga saat malam tiba
jiwaku akan tetap bercahaya

11 October 2005

Ada Yang Tertinggal

Senja itu, ketika air mata ibu luruh mengantar kepergianku. Tak ada air mata. Hanya enggan yang tersimpan. Ibu, persembahan apalagi yang bisa kusajikan untukmu selain usaha untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang pernah kau ceritakan. Mimpi tentang anak yang berontak, yang enggan untuk pulang. Mimpi tentang kembalinya ia kepadamu membawa bingkisan cinta untukmu.
Ibu, tak cukup kata kurangkai untuk menggambarkan betapa besar cinta dan takzimku kepadamu. Aku sadar semua yang menggumpal di dada hanyalah secawan air dibanding cintamu yang melaut untukku. Apapun yang kulakukan tak akan berbanding dengan apa yang kau berikan selama ini. Aku bahkan tak tahu, adakah kebajikan yang berbanding dengan kebajikan seorang ibu. Sungguh, aku tak tahu.

Ibu, aku pergi untuk sesuatu yang baik. sesuatu yang mungkin bisa mengobati kekecewaan karena ulahku yang liar. sungguh durhaka aku yang telah menoreh luka di dadamu...

Maafkan anakmu ibu...
Sungguh, aku mencintaimu...

Hari-hari terakhir sebelum bertolak begitu membuatku resah. Bukan semata-mata karena perpisahan denganmu; wanita yang telah memberiku begitu banyak limpahan cinta, akan tetapi semacam kekhawatiran tentang apa yang akan kubawa pulang tuk kuberikan untukmu nanti. Bahkan disaat seperti ini masih saja tubuh dan jiwa enggan berusaha. Aku tahu, di tiap malamku senantiasa angin menyampaikan doa-doa yang selalu kau lantunkan pada tahajud malam.

Ibu, aku merindukanmu... juga tangismu yang pecah suatu malam dan aku terjaga saat kudengar kau sebut namaku dalam doamu. Sungguh ibu, entah kapan kurasakan kehangatan itu lagi. Dan aku pergi bukan sebentar. Seliar-liarnya aku, tetap saja aku butuh rumah, butuh ibu yang ramah, juga kisah-kisah yang biasa kau ceritakan setelah beberapa hari aku pergi. Kapan lagi aku bisa mendengar ceritamu? Sementara angin tak mungkin sanggup jika harus bekerja lembur tiap hari untuk mengirimkan muatan cinta darimu.

Mungkin benar saat kau bilang kemarin, "kan isih iso telpon...". Tapi tetap saja sinyal-sinyal elektromagnetik tak cukup mewakili bahasa nurani, juga pandang matamu yang meluluhkan hati. Langit di bumiku tanpa bintang, bulanpun tak genap setengah. Semoga ini hanya bagian dari siklus rotasi. Bukan karna langit ingin menemani aku yang sunyi.

Ibu, aku mencintaimu...

18 September 2005

Tentang Rindu

Sudah lama aku mencoba memasung rindu yang berlarian di lorong-lorong hatiku. Bukan karna tak sungguh sehingga ia terlalu teguh tuk direngkuh. Mungkin liar memang tak mudah dilemahkan. Dengan apa lagi? Tapi rindu begitu jujur. Tak bisa berdusta. Pernah kau bilang yang kubutuhkan sekarang adalah sebotol inteksida anti dusta untuk membunuh kuman-kuman keengganan. Duh bintang, bukan itu yang aku perlu. Coba kau berikan aku sepetak ruang dan segenggam waktu untuk sekedar bertemu, niscaya rindu ini akan menemukan jalan keluar untuk pulang kepada ibunya, kepadamu yang telah menitipkannya di labirin hatiku.

22 August 2005

Melapangkan Hati

Semestinya kita sadar, bahwa manusia tak akan pernah lepas dari dosa. Sungguh sayang, jika seseorang tak lagi di-manusia-kan hanya karena dia pernah melakukan salah atau dosa di masa lalu. Akan lebih bijak jika kita tidak menempatkan seseorang yang pernah melakukan khilaf pada tempat terendah. Bukankah kita manusia juga?
Saya sadar, sungguh sadar bahwa kita juga memiliki perasaan. Sebuah interaksi tak selalu meninggalkan kenangan manis. Adakalanya meninggalkan luka yang membekas. Bahkan sulit disembuhkan. Namun akankah berhenti pada titik itu? Sehingga luka tadi tanpa kita sadari berubah menjadi benih-benih kebencian dan suatu waktu menjelma serupa badai. Menghancurkan ikatan-ikatan yang pernah terjalin. Melebur segala yang ada. Hingga yang tersisa hanya luka. Luka yang abadi.
Mengapa tidak kita coba saja. Menjadi lebih bijak dengan memberikan maaf pada mereka yang khilaf. Agar dunia ini tidak hancur oleh badai yang kadang kita tanam tanpa sadar. Dalam hal semacam ini, melapangkan hati takkan membuat kita mati.
Saat menulis ini, saya pribadi sama sekali tidak berpretensi untuk memberikan legalisasi untuk sebuah kesalahan. Sama sekali tidak. Kesalahan tetap kesalahan. Dan kita mesti berupaya sekuat tenaga agar tidak terperosok di dalamnya. Walau terkadang masih jatuh juga. Karena kita hanya manusia. Bukan dewa atau semacamnya. Sangat wajar dan justru lebih manusiawi jika dalam melangkah kita pernah salah arah. Tersesat dalam gelap hingga tanpa disadari kita terperosok dalam lubang atau tergelincir dalamnya jurang.
Satu yang perlu direnungkan, apakah kita malah mengutuk mereka yang terantuk. Membunuh mereka yang terjatuh. Apakah kita sudah begitu mulia. Seakan kita tak pernah melakukan salah. Sementara kita tahu, kita bukan dewa ataupun makhluk setengah dewa. Maka akan lebih indah jika kita bisa melapangkan hati, memberi sedikit ruang untuk sebuah maaf, menggusur ruang kebencian lalu membangun ruang perdamaian.
Selayaknya kalimat ini selalu terpatri dalam diri: melapangkan hati takkan membuat kita mati.

Salam cinta,

Nanang Musha
( seribu terima kasih untuk seorang kawan di Jogja, sepercik airmu basahi kering bumiku… )

15 August 2005

Aku Masih Merindukanmu

Kejahatan apa lagi yang telah menyapamu kawan? Bukankah lukamu tak terlalu dalam. Sementara keberadaanku di sini menjadi bukti bahwa ikatan-ikatan terkadang menyakiti. Mereka melemparkan kita dalam labirin kenangan menyesatkan. Kita berjalan. Terus berjalan. Berjuta hirup nafas teriring. Berlaksa tetes keringat mengalir. Tanyaku: "Di mana pintu?".
Ini bulan ke 9 semenjak kita berpisah. Tak tinggal serumah. Aku masih merindukanmu. Masih saja seperti dulu. Tapi kenangan itu menyesatkan. Sering aku berkunjung ke rumah lama, berharap menemukan remah-remah yang tercecer dari kebersamaan kita. Sebegitu sering, hingga menimbulkan keanehan tersendiri di mata penghuni. Aku sadar. Mereka lebih berhak atas rumah itu. Aku hanya tamu. Namun tidakkah mereka tahu bahwa aku pernah tinggal di rumah itu? Menulis episode-episode kehidupan di dalamnya?

Mungkin mereka tak mengerti, betapa ruang-ruang itu menjadi saksi akan setiap laku kita. Seandainya mereka bisa merasakan betapa dinding-dinding kamar turut bersyahadat pada tahun pertama bekerja bersama. Dan aku, aku yang telah berkhianat kepadamu kau minta berada di depan. Kupikir ini gila. Tapi apalah arti pikiran orang gila dihadapan kalian. Kalian masih ingat saat terakhir bekerja? Malam itu, bulir-bulir keperakan mengalir dari sudut mata ini. Begitu bangga. Begitu bahagianya aku menjadi bagian dari kalian. Dan kalian mengucapkan hal yang sama. Malam itu penyucian dosa. Saat malaikat rahmat turun memeluk kita. Dalam jabat erat dan peluk hangat sekali lagi kita bersyahadat: kami sahabat.

Ah, baru ingat sekarang. Waktu aku terjatuh. Sungguh-sungguh jatuh. Tidak main-main. Kau bilang aku ini bangsat. Betapa bangsatnya karena menghancurkan bangunan yang kita garap bersama. Tak masalah buatku. Selama ada percaya itu. Masih ingat bukan? Atau kau perlu sesekali menengok kelas, mungkin masih ada satu dua yang membekas. Kubilang mungkin, karena aku hampir tak pernah kesana. Barangkali kalian bertanya-tanya bagaimana aku masih terus mengingatnya? Sederhana saja, karena semua kurekam di relung hati yang terdalam. Semua. Tak satupun yang lewat.

Aku masih merindukanmu. Kalian juga. Tetesan-tetesan pelajaran yang aku dapat selama perjalanan itu begitu berarti buatku. Aku begitu percaya bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik. Untuk itu kucoba menyerap setiap tetesnya agar subur darah yang mengalir di nadiku. Bukankah darahku darahmu juga?

Dulu saat kita berpisah, rasanya tak benar-benar kehilangan. Aku tahu ini bukan mimpi. Merupakan kenyataan bahwa kau tak lagi disini. Tapi aku tak benar-benar kehilangan. Entahlah. Aku begitu yakin bahwa ikatan batin tak mudah mati. Selama kita rajin menyiramnya, memberi pupuk, membersihkan dari hama pengganggu. Begitulah. Tak perlu ada keluh kesah.

Aku masih merindukanmu. Kalian juga. Adakah sama rasa kita??

( Dirangkai pada perjalanan Jakarta-Solo setelah menjalani hari-hari yang paling melelahkan sekaligus paling berkesan dalam hidup. Naskah asli surat ini masih tersimpan pada catatan harian penulis. )