29 January 2006

Senandung Senja Untuk Adinda

:Kikan
Mungkin terlalu klise. Hanya menjadi apologi basi saat kau membaca surat ini. Tapi bagaimana lagi? Hidup selalu menjadi misteri yang tak mudah dijejaki. Semoga kau tahu, disini aku senantiasa melantunkan puja-puji, agar beliau mendapatkan tempat terbaik disisiNya. Entah kau rasakan tidak, yang pasti disini aku masih diselimuti mendung yang membuat gundah tak terbendung. Aku merasa tak berarti. Bukankah seharusnya aku berada disana menemanimu mereguk duka? Dan aku hanya bisa menulis surat ini yang entah kau baca atau tidak.

Dek, kali ini aku tak akan memberimu wejangan seperti biasa. Di usiamu yang muda, Sang Hidup telah mengajarimu bab-bab terpenting yang belum pernah kuraba. Aku bohong jika bilang bahwa aku bisa merasakan apa yang kau rasa sekarang. Namun sebuah nyata bila sepersekian duka di hatimu ada padaku. Sungguh tak mudah melepas seseorang yang amat sangat disayangi. Namun kelapangan hatimulah yang akan memberi arti, bahwa hidup tetap harus dilakoni dengan keyakinan. Keyakinan bahwa segala yang ada adalah milikNya dan pada sebuah masa akan kembali kepadaNya.

Dek, kau masih ingat setahun yang lalu? Sebuah hari saat kita merayakan ulang tahunmu? Awalnya tak mudah bukan? Namun halangan yang ada justru membuat kita lebih nyaman saat bersama. Hanya kesabaranlah yang akan membuat sebuah akhir terasa indah. Semoga.

Segalanya milik Allah, dan hanya kepadaNya lah kita kembali...

Setelah Aku Pergi

:AKJ
Kenapa tiba-tiba wajahmu yang singgah? Dan tak sebentar. Sudah 2 kali putaran bumi dan kau tak segera pergi. Bukankah kau pernah bilang tak akan lagi menyapaku? Duh Gusti! Ujian apalagi untuk saat ini. Padahal sudah lama aku menghapus semua tentangmu dari file ingatanku. Tak mungkin kualamatkan rindu kepadamu. Sebab jarak telah memisahkan anak dari ibunya. Dan itu kau; perempuan yang pernah kupinang untuk menjadi ibu bagi puisiku. Dan kau menolaknya. Lantas untuk apa? Layakkah kuantarkan pulang luka menuju ibunya? Sementara kau tetap enggan memberi pengakuan bahwa anak-anak itu terlahir dari persetubuhan kita?
Memang sejarah tak sempat mencatat episode-episode yang pernah kita lakoni bersama. Namun dalam keterbatasan itu jejakmu telah tertinggal di hatiku. Dan seiring berlalunya waktu bekas itu telah mengering, serupa tembikar yang mengeras ditempa panas yang tak sebentar. Sungguh, bukan tak sengaja saat kenyataan memaksaku membanting guci itu. Meski harus sakit oleh tangan sendiri. Seperti mencicipi nikmatnya mati. Namun apalagi yang bisa kulakukan? Bukankah menyimpannya akan terasa pedih??

Sepertinya Esok Masih Ada Senja

untuk seorang kawan seperjuangan
Kawan, memang baru kemarin aku tiba dan membaca suasana disini, di tempat yang kita tinggali bersama kini. Sejujurnya tak layak jika aku berkata telah tuntas menerjemahkanmu. Bukankah masih ada dia yang lebih mengerti akanmu. Lebih lama menyelami waktu bersamamu. Bahkan kulihat begitu sedihnya kau saat dia pergi untuk sebuah janji. Sungguh aku memahami itu semua.

Semoga ini bukan sebuah kelancangan. Tanpa menafikan dia, aku bertanya: bukankah masih ada cinta dari orang lain? Memang aku tak berani menjanjikan sesuatu untukmu. Hanya saja perjalanan telah membawa kita pada ruang dan waktu yang sama. Mengapa tidak kau bagi sedih, sesak, sakit, dan segala bentuk rasa tak nyaman lainnya kepadaku? Agar kata kawan bukan sekedar ucapan. Tak mengapa jika kau marah saat membaca surat ini. Mungkin yang terlintas di benakmu adalah sebaris kata berikut ini: bagaimana aku bisa bercerita jika kau tak pernah benar-benar ada?. Mungkin kau benar. Aku terlalu jauh darimu, juga kawan yang lain. Tapi aku ingin kau mengerti bahwa aku butuh sendiri. Aku butuh sepi. Namun bukan berarti dalam sepi aku hanya menikmati tubuh sendiri. Tidak. Selalu saja terlintas segala sesuatu akanmu yang terkadang membuatku merasa tak nyaman.

Ini tentang sebuah kaca buram yang terpasang diantara kita. Entah siapa yang meletakkannya disana. Mungkin aku, kau, atau bahkan datang dengan sendirinya. Kau tahu, kaca itulah yang selama ini menjadi pemisah antara kita. Menyulitkan aku untuk bisa memandangmu. Menghalangiku untuk bisa memelukmu.

Aku terkejut saat tahu bahwa kenyataan tak bersahabat denganmu. Namun kekalahan bukanlah akhir. Bukankah hidup adalah perang? Boleh jadi kalah dalam sebuah pertempuran tapi tidak untuk menyerah. Selama kita masih bernyawa, esok masih ada senja. Aku tak bermaksud menghiburmu. Sungguh pahit memang harus bertahan lebih lama dalam kondisi tak nyaman. Tapi setidaknya kau masih punya cinta. Dari dia, mereka, juga aku. Itu akan membuatmu lebih kuat saat berhadapan dengan takdir yang tak bersahabat. Kata Metallica:”Pain makes you stronger”.

Maafkan jika harus menitipkan perasaan lewat kata. Sungguh selama kaca buram itu masih ada, kita tak akan bisa menyatukan jiwa. Sekali lagi maaf, atas segala hal yang membuatmu merasa tak nyaman semenjak aku berada disini. Bagaimanapun, itu bukan buah dari kesengajaan. Layaknya manusia lain, aku juga memiliki sisi berbeda. Ingat katamu:”Kita adalah beda”

Akhirnya, selamat berjuang. Melanjutkan kehidupan agar harapan bisa terwujudkan. Bukankah kita berada disini untuk sesuatu yang baik?

Salam cinta,

Nanang Musha

Hanya Aku dan DIA Yang Tahu

Angka di sudut kanan bawah layar monitor menunjuk angka 02:59 AM. Lazimnya kalian akan menggunakan saat-saat seperti ini untuk bercumbu dengan-Nya. Menumpahkan keluh kesah dan segala gelisah, menerbangkan doa dan puja-puji kepada Sang Pemberi. Tapi tidak denganku, saat ini membunuh waktu dengan kata-kata penuh bunga namun miskin makna. Yah, itulah aku, suka atau tidak, aku yang tiada ini telah diadakan oleh Yang Ada. Nikmati saja, toh dalam bebas selalu ada batas.

Dari speaker yang terpasang, lamat-lamat lagu Menanti Sebuah Jawaban dari Padi mengalun. Begitu syahdu. Disini, di tempat dimana sepi begitu merajai, diam-diam dalam otakku tumbuh semacam khayalan. Selalu berharap bukan Fadly yang menyanyikannya, tapi aku, aku sendiri yang menyanyikan lagu ini. Jangan salah sangka, aku tidak sedang merindukan seseorang. Juga tidak sedang berharap bisa memiliki seorang bidadari yang pernah menginap dalam hati. No, absolutely not. Aku hanya sedang mangkel saja. Mangkel pada seseorang yang tak perlu kusebut namanya. Menanti sebuah jawaban, atau mungkin tanggapan. Ah, entahlah. Aku sendiri bingung bagaimana menyikapi hal ini.

Hmm, mungkin kalimat dibawah ini cukup mewakili gundah dalam hati;

Seperti doa sang durjana yang tak mampu menyentuh langitnya, mimpi sederhana hangus dalam bibir kepundanmu yang meletus. Duhai bumi, jika persembahanku memang tak berarti, maka harus dengan apa lagi kuberi agar kau mengerti?
Sekedar sapa atau tanda, agar aku benar-benar merasa ada.