14 November 2006

Aku Ingin Engkau Tersenyum

Aku ingin engkau tersenyum. Dia juga. Meski aku tahu bahwa senyum dalam waktu bersamaan tak musti kesejiwaan. Masih ingat cerpen yang aku kirim untukmu? Di sana ada adegan di mana seorang lelaki tersenyum setelah membeli setangkai mawar dari bocah kecil. Nah, bocah itu juga tersenyum bukan? Sementara lelaki itu tersenyum karena bunga itu mengingatkan dia akan peristiwa masa lalu, si bocah tersenyum karena uang itu bisa digunakan untuk mengganjal perut lapar.

Aku ingin engkau tersenyum. Dia juga. Meski aku tahu itu tidak mudah. Seperti Seno aku bertanya, terbuat dari apakah kenangan? Tentu aku tak tahu. Mungkin dia juga. Tapi seberapa penting untuk tahu asal sesuatu? Bukankah kepingan puzzle yang hendak kau genapkan sekarang datang entah dari mana entah karena apa? Maka izinkan aku menghadirkan dirimu dalam ruang pikirku. Mungkin tak lama. Sebentar saja. Sampai aku yakin bahwa engkau sudi tersenyum lagi.

Tak usah bertanya mengapa. Sebuah alasan tak musti membuat sesuatu lebih baik. Dia benar, yang pasti di dunia ini adalah ketidakpastian.

Aku ingin engkau tersenyum lagi. Dia juga.

p.s Tadi aku diam, sebab senja mengingatkan aku akan kematian.

07 November 2006

Paradoks Menjelang Mati

Dek, suatu saat kamu akan memahami kenapa aku merasa hidup begitu berat untuk terus diperjuangkan. Usiaku sekarang adalah batas di mana seorang manusia harus bertanggungjawab atas apa yang dilakukan. Iya sendirian. Aku tak boleh lagi mengeluh. Aku tak boleh lagi menyalahkan variabel lain di luar diriku untuk sebuah kegagalan atau kesalahan. Dulu, aku bisa saja menuduh kamu, dia, atau mereka sebagai kambing hitam. Tapi tidak sekarang. Hukum alam tentang sebab-akibat masih berlaku. Karena aku bukan fatalis, tak ada ruang untuk melimpahkan kesalahan kepada variabel lain di luar diriku. Tuhan pun tak. Semoga kamu bisa memaklumi mengapa aku menjadi begitu pesimis untuk melanjutkan jalan -yang aku tahu- belum selesai.

Mas, kamu mungkin sedang lelah.

Iya dek, orang yang lelah butuh istirahat. Tapi aku terlalu bodoh dalam memilih waktu. Aku terlelap ketika mereka bangun. Saat aku bekerja, tak kulihat seorang pun di sekeliling. Mereka semua pulas. Tiba-tiba aku merasa menjadi seorang jagoan. Jagoan kesepian yang melakukan aksi-aksi heroik sendirian. O, terpujilah Dia Yang Tak Tidur dan Tak Lalai. Saat aku terjaga, aku melihat gerak laju peradaban yang sedemikian dahsyat. Mereka bekerja, mereka bergerak, sementara aku baru bangun tidur. Aku merasa ketinggalan. Tidurku terlalu panjang. Aku bukan jagoan.

Mas, dunia tak butuh pahlawan.

Iya dek, aku percaya sekarang. Maka jangan salahkan jika aku nanti jadi pengecut. Sebab dunia hanya butuh penurut.

Eh, kamu menemukan kontradiksi dalam surat yang aku tulis? Iya katamu? Wah, selamat datang dek. Selamat datang di dunia sebenar, bukan sekedar.