21 June 2006

Tak Ada Yang Asing Jika Kau Merasa Asing

: Sebelum kutukan disempurnakan
Tak ada yang asing jika kau merasa asing. Aku serupa novel yang tergeletak di lorong-lorong sepi sejarah. Sampul tipisku usang tak nyaman dipandang. Lembar-lembar kotor yang hanya menyisakan serpihan paragraf untuk kau baca.

Tak ada yang asing jika kau merasa asing. Perjalananku adalah kering sahara. Setiap jejak yang tertinggal akan hapus oleh deru angin yang berhembus. Butuh lebih dari percakapan singkat yang tersekat ruang. Selama pertemuan kita masih berwujud buih-buih ombak, tak akan mungkin fragmen-fragmen kesunyian kau kumpulkan. Walau kau coba mengumpulkan remah-remah ingatan. Walau kau coba melengkapi puzzle yang berserakan.

Tak ada yang asing jika kau merasa asing. Walau aku bukan lelaki yang hidup dalam cerita misteri. Aku hanya lelaki yang tak fasih berbicara dan memilih mengungkap rasa lewat jalinan kata. Meski menyadari bahwa jujur berarti hancur. Sementara mereka yang dungu malah dianggap guru.

Tak ada yang asing jika kau merasa asing. Lalu apa yang harus diceritakan jika nanti kau ingin berbicara sebagai perempuan? Bukankah sudah lewat hari dimana kubuka ruang-ruang paling rapuh dari jiwa dan tubuh? Maka tak usah kata tak usah tanya. Cukuplah tanda, agar aku merasa nyata merasa ada.

14 June 2006

Dan Metafora Tak Sanggup Lagi Merumuskan Kenyataan

Sudah masuk musim panas. Kau merasa butuh udara baru untuk bernafas. Di negeri yang kau singgahi ini kau merasa kehilangan kepekaan. Deras laju informasi yang membanjir dari layar monitor membuat kepalamu penuh sampah. Mereka bilang itu informasi, bagimu hanyalah gejala-gejala voyeurisme ganjil yang diam-diam mulai menggerogoti hati.

"Om, ga ikut keluar? Ada Sheva lho,"
Sialan! Ucapmu kesal. Jika kau merasa penat sekarang, bukan karena lembar-lembar diktat yang masih ingin disenggamai. Penatmu adalah ingatan yang memutar ulang film Gladiator. Disana mereka mendirikan bangunan-bangunan besar. Yang terbesar diberi nama Colosseum, disana mereka mengadakan pertarungan-pertarungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan binatang, binatang dengan binatang. Saat itu rakyat merayakan histeria tanpa sadar ada yang hilang dari apa yang mereka setorkan sebagai pajak. Di sini sejarah terulang lagi. Manusia masih saja berteriak dan hanyut dalam euforia merayakan lupa.

"Wah, anda bukan homo ludens ya?"
Tiba-tiba kau ingin sekali meluapkan amarah. Bermain adalah bermain. Apa salahnya memilih sendiri di beranda rumah? Bermain bersama kertas dan pena. Menjaring kata dan merangkainya menjadi baris-baris yang tertata?

"Jangan terlalu serius. Nanti cepat aus,"
Kau semakin muak sekarang. Kenapa orang-orang jadi begitu sok tahu apa yang sedang berlaku? Apa sih yang mereka mau, pikirmu. Sementara saat ini kau sedang istirahat; bermain-main dengan koma, titik, dan banyak tanda baca lainnya.

"Pengarang sudah mati."
Ha..ha..ha.., siapa tadi yang bicara? Ucapmu sembari tertawa. Kau hanya merakit kata, bukan menulis novel tentang lelaki yang patah hati setelah sekian lama mencari Tuhan, namun akhirnya menemukanNya di sesela desah nafas perempuan di pinggir jalan.

"Orang seperti kamu sudah banyak. Jangan sok aksi. Nanti cepat basi."
Bukankah orang yang arogan justru lebih banyak? Mereka merasa tahu siapa kita. Menghakimi kita dengan kartu ini dan itu. Memangnya hidup ini sepakbola? Kok ada yang merasa perlu jadi wasit segala?

Ah, langit sudah hitam. Kau bertanya kepada beberapa kawan kapan mereka terakhir melihat kunang-kunang? Kebanyakan bilang masih bertemu kunang-kunang satu dua tahun lalu. Kau merasa iri. Terakhir kali kau bertemu kunang-kunang delapan atau tujuh tahun yang lalu. Itupun bukan di halaman rumah. Kau harus melangkahkan kaki ratusan kilo menuju sawah di desa di mana ibumu dibesarkan.

"Kenapa sih bertanya tentang kunang-kunang?"
Sebab ia tetap berkedip. Meski malam telah larut.

09 June 2006

Surat Menjelang Jum'at

Silahkan saja jika kau merasa kurang dimanusiakan hari ini. Yang jelas, kau memang tak memberiku sebuah alasan mengapa aku harus bercerita kepadamu. Lalu untuk apa aku bercerita? Sementara kau tak bisa meyakinkanku agar sudi membagi perih ini kepadamu. Setiap orang akan mengerti bahwa kesalahan terbesarmu adalah terlalu peduli kepada hal-hal yang tak selayaknya kau pedulikan. Untuk apa? Sementara menjaga diri sendiri kau masih keteteran.

Baiklah. Jika kau memang masih kecewa, semoga penjelasan ini bisa membuatmu bernafas lega. Kau tentu tahu, setiap orang memiliki ruang tersendiri yang hanya diketahui oleh dia dan Tuhan. Tentunya aku juga memiliki ruang itu. Karenanya tak usah menyalahkan diri atas ketidaksopanan dan keingintahuan yang memuakkan itu. Sebab aku sendiri tak tahu untuk apa harus bercerita kepadamu. Ya, menyimpannya sendiri memang terasa perih, namun itu lebih baik daripada membaginya kepada seseorang yang hanya bisa memperlakukanku sebagai seorang perempuan. Bukankah kau sendiri yang bilang untuk sejenak menarik jarak? Lalu apa pedulimu dengan kekosongan yang kurasakan saat ini?

Terakhir, kau harus ingat bahwa aku tidak sedang menjauhimu. Salah jika kau mengira semacam itu. Meski dalam beberapa kesempatan aku merasa nyaman berada di dekatmu, bukan berarti aku akan memberi kunci almari hati kepadamu. Catat itu.

p.s: surat imajiner dari seseorang yang hanya tinggal di ruang imaji

Lantas Sampai Kapan Engkau Menyimpan Badai

Lantas sampai kapan engkau menyimpan badai?
Lantas sampai kapan engkau menyimpan?
Lantas sampai kapan engkau?
Lantas sampai kapan?
Lantas sampai kapan engkau?
Lantas sampai kapan engkau menyimpan?
Lantas sampai kapan engkau menyimpan badai?

06 June 2006

20 Kata, 4 Titik dan 4 Koma

Apa yang bisa dilakukan dengan 20 kata, 4 titik dan 4 koma? Bagi orang lain tak akan melahirkan sesuatu yang berbahaya. Namun tidak untukmu. 20 kata, 4 titik dan 4 koma telah membuatmu merasa bersalah. Getir yang mengalir malam ini menyadarkanmu bahwa sejumlah kata yang kau kirimkan kepada seseorang, telah membuatnya merasa perih. Sungguh, adakah yang lebih jahat selain mengirimkan kesakitan yang sedang kau rasakan? Bukankah itu akan membuat dia larut dalam kesedihan?

Ah, kau memang penjahat. Seharusnya kau mati sejak dulu. Tak selayaknya kau memandang wajah yang hanya ada dalam alam imajiner di tempurung kepalamu yang kosong. Mengapa tak kau beri kesempatan dia untuk menarik diri. Semacam pengendapan perasaan. Bukankah kau juga masih berharap suatu saat dia akan menyapamu dan berkata, aku telah membacamu.

Tapi sudahlah. Yang harus kau lakukan sekarang adalah belajar untuk diam. Agar tak ada lagi kesakitan yang lahir kembali.

Ah, satu lagi. Matikan lagu James Blunt yang sejak tiga hari ini selalu mengalun dari speakermu. Aku tahu, kau ingin menyanyikan lagu itu untuknya. Tunggu saja. Mungkin sang Takdir akan mempertemukan kau dan dia di salah satu sudut kota. Kapan? Entahlah. Biarkan Sang Takdir menentukan.

05 June 2006

Aksi Blogger Indonesia Untuk Jogja


AKSI BLOGGER INDONESIA UNTUK JOGJA



Gempa dengan kekuatan 6 SR telah menggoncang Jogjakarta pada tanggal 27 Mei 2006 yang lalu. Hingga saat ini estimasi korban meninggal telah mencapai 5000 orang, belum termasuk ribuan orang luka-luka, dan ribuan rumah rusak.

Akankah kita berdiam diri melihat saudara-saudara kita menangis? Sanggupkah kita makan dan tidur dengan nyaman selagi mereka--saudara kita--kelaparan dan kedinginan?

Marilah kita berhenti mengetik dikeyboard dan berhenti tertawa sejenak sambil merenungkan, jika kejadian ini terjadi pada kita ataupun keluarga kita. Mari kita tunjukkan, solidaritas kita mengalahkan jarak dan batasan apapun yang ada di depan mata.

Sisihkanlah beberapa lembar receh dari dompet teman-teman, yang Insya Allah, semoga akan dibalas dengan pahala yang berlipat ganda. Uang receh seharga sebungkus rokok, sejam billing di warnet, sekaleng minuman soft drink, berapapun itu jumlahnya jika kita gabungkan bersama pasti akan berarti.

Kami sangat mengharapkan partisipasinya. Silahkan klik banner diatas untuk informasi lebih lanjut. Terima kasih.

Terkutuklah Aku Yang Tak Bisa Membaca Jejakmu

Adalah aku, pejalan yang menempuh hidup mencari tempat berteduh, pemulung remah-remah peradaban yang berserakan, memilihnya sedemikian rupa, mencatatkannya agar tetap abadi meski digerus laju masa.

Bersyukurlah aku tatkala rotasi waktu mengantar aku di sebuah kota dimana kudapati engkau disana. O, siapa yang tak bahagia berjumpa saudara tua, kawan menempuh jalan menuju pencapaian. Aku dan engkau, kita berteriak lepas mengikrarkan persekutuan. Meminta langit jadi saksi tentang setia abadi.

Kemudian senja menyapa. Mengajak kita mengambil jeda. Tubuh yang lelah butuh istirah.

Ah, betapa syahdu menikmati merdu disitu
Betapa syahdu menikmati merdu disitu

Namun terkutuklah aku yang memuja sebuah nama. Tanpa sempat membaca jejakmu yang bersemayam disana. Maka terkutuk aku untuk kesekian kali, sebab mencoba membangun rumah di tanah yang lebih dulu kau tanami. Engkau lebih dulu menghitung waktu di danau itu. Engkau lebih dulu menghitung waktu di danau itu.

Adalah aku, pejalan yang menempuh hidup mencari tempat berteduh, pemulung remah-remah peradaban yang berserakan, memilihnya sedemikian rupa, mencatatkannya agar tetap abadi meski digerus laju masa.

(Bagian terakhir dari tiga catatan. Semoga cukup sampai disini saja)

03 June 2006

Sebab Aku Debu Bukan Batu

Kau bilang akan mencatatku,

Ah, tak perlu kataku
Sebab aku debu bukan batu
Kau bisa menghapusku kapan engkau mau

Puisi Joko Pinurbo dalam Telepon Genggam

Mata

Ada tiga mata bertemu di kafe itu:
matasenja, matakata dan matangantuk.

Matasenja lekas terpejam karena hujan bilang
pertemuan ini memang jatahnya malam.

Matakata minus delapan karena katakata
waduh mabuk berat dihajar kenangan.

Matangantuk merah merindu melihat botol bir
makin penuh dengan air matamu.


Selamat Malam, Kanibal

Kita datang ke perjamuan seperti pernah kita janjikan
Kau sangat lapar, aku ingin kenyang.

Selamat makan. Hujan sangat kanibal: ia habiskan derau hujan sebelum sempat kita cicipi harum hujan.

Ayo minum. Matamu sangat kanibal: mereguk mataku sepenuh ambigu sebelum mataku meneguk matamu.

Apa lagi yang akan kau santap, hai kanibal, bila senja yang belum matang juga lenyap dilahap malam?

Oh ya, masih ada anggur darah. Kita muntah-muntah.
Kau muntah rindu, aku muntah waktu.

Kita pulang membawa sesal. Selamat malam, kanibal!
Kau melenggang ke kiri, aku menghilang ke kanan.
Kita berpisah sebelum sempat saling menghabiskan.

Selesai Sudah Tugasku Menulis Puisi

sebab kata-kata sudah besar, sudah selesai studi, dan mereka harus pergi cari kerja sendiri.

Rhapsody on a Windy Night By TS Elliot

Twelve o'clock.
Along the reaches of the street
Held in a lunar synthesis,
Whispering lunar incantations
Disolve the floors of memory
And all its clear relations,
Its divisions and precisions,
Every street lamp that I pass
Beats like a fatalistic drum,
And through the spaces of the dark
Midnight shakes the memory
As a madman shakes a dead geranium.

Half-past one,
The street lamp sputtered,
The street lamp muttered,
The street lamp said,
"Regard that woman
Who hesitates toward you in the light of the door
Which opens on her like a grin.
You see the border of her dress
Is torn and stained with sand,
And you see the corner of her eye
Twists like a crooked pin."

The memory throws up high and dry
A crowd of twisted things;
A twisted branch upon the beach
Eaten smooth, and polished
As if the world gave up
The secret of its skeleton,
Stiff and white.
A broken spring in a factory yard,
Rust that clings to the form that the strength has left
Hard and curled and ready to snap.

Half-past two,
The street-lamp said,
"Remark the cat which flattens itself in the gutter,
Slips out its tongue
And devours a morsel of rancid butter."
So the hand of the child, automatic,
Slipped out and pocketed a toy that was running along
the quay.
I could see nothing behind that child's eye.
I have seen eyes in the street
Trying to peer through lighted shutters,
And a crab one afternoon in a pool,
An old crab with barnacles on his back,
Gripped the end of a stick which I held him.

Half-past three,
The lamp sputtered,
The lamp muttered in the dark.

The lamp hummed:
"Regard the moon,
La lune ne garde aucune rancune,
She winks a feeble eye,
She smiles into corners.
She smooths the hair of the grass.
The moon has lost her memory.
A washed-out smallpox cracks her face,
Her hand twists a paper rose,
That smells of dust and old Cologne,
She is alone With all the old nocturnal smells
That cross and cross across her brain.
The reminiscence comes
Of sunless dry geraniums
And dust in crevices,
Smells of chestnuts in the streets
And female smells in shuttered rooms
And cigarettes in corridors
And cocktail smells in bars."

The lamp said,
"Four o'clock,
Here is the number on the door.
Memory!
You have the key,
The little lamp spreads a ring on the stair,
Mount.
The bed is open; the tooth-brush hangs on the wall,
Put your shoes at the door, sleep, prepare for life."

The last twist of the knife.

Lihat!


Lihat! Lihat di lazuardi! terlalu merah dinikmati seorang diri
Lihat! Lihat luas air itu! terlalu luas dijelajahi tanpamu

Kapan

Menghabiskan renung di Seminung
Senja tetap saja jumawa
Menjaring mendung di Banding Agung
Tak memberi tetes asa

O, Putri penjaga bumi
Lalu kapan kau sudi temani melukis pelangi
Sementara tak ada jawaban kutemukan di selatan Barisan

02 June 2006

Sebelum Waktu Pergi dan Berlari

Hasrat harus segera dituntaskan sebelum runcing waktu membunuh sensitifitas tubuhku. Akan kupercikkan cahaya agar aku bisa menangkap jelas dimana malaikat itu tengah berada.

Seperti malam kau terdiam. Cangkir kopi dan bungkus rokok kretek menemanimu mengeja kesunyian. Seperti malam, hatimu teduh namun riuh. Laju kendaraan yang lalu-lalang diselingi teriakan klakson menjadi instrumen tersendiri dalam lantunan komposisi dini hari.

"Zahra! Zahra!" teriak seseorang yang berdiri di ujung jalan. O, andai kebekuan bisa rampung di sebuah ujung, tentu bulan tak perlu menyembunyikan kemolekan dibalik cadar hitam. Orang-orang bilang itu bulan sabit. Bagimu itu adalah amsal agar manusia bisa bersabar, bahwa keindahan tak bisa dinikmati sekali jadi.

Kau tercenung. Cangkir kopi di hadapanmu mengingatkan akan seorang bijak yang berkata, "Kau tahu, tak mungkin kau terjaga di pagi hari lantas mendapati secangkir kopi susu. Kau harus bangun lebih dini, menyeduh air, menyiapkan cangkir dan menambahkan kopi, gula atau apa saja yang kau suka, baru kau bisa menikmatinya."

Kau tersenyum. Untuk hal sesederhana itu harus ada orang lain yang memberimu ingat. Maka detik itu pula ada perasaan aneh yang menelusup dalam dada. Hangat, semacam cinta. Tapi kau tahu, kehangatan tak selalu membuatmu merasa nyaman.

"Musim semi sudah lewat," ucap perempuan yang kau temui kemarin siang. Kau ingin sepakat, mesti tak mudah. Bagaimana bisa musim semi sudah lewat, sementara bunga-bunga sedang bermekaran di pembatas jalan. Jika ini musim panas, mengapa matahari tak kunjung mengamuk ganas?

"Sebuah jawaban tak musti membuat keadaan jadi lebih baik," demikianlah jawaban yang diberikan Adam kepada Hawa di sebuah ruang waktu setelah sekian lama takdir memisahkan mereka berdua. Jawaban cerdas, pikirmu. Meski kau tahu bukan itu yang diperlukan saat ini. Kau butuh pasti. Supaya kelam yang lama tertanam segera tiwikrama. Bukan jadi raksasa, tapi jadi taman bunga tempatmu tinggal menghitung usia.

Ah, kau ingin sekali melanjutkan perbincangan yang terjeda. Sebab kau tahu pasti besok pagi akan mati. Sebab kau tahu besok pagi akan mati.

p.s: Bagian kedua dari tiga catatan. Catatan pertama telah sampai di salah satu pengguna Yahoo. bagian terakhir masih diendapkan di ruang ide penulis. Doakan agar segera usai.