07 October 2006

Sungguh Aku Ingin Menulis Puisi Tentangmu

"Mereka masih bersemangat seperti dulu, menjaga kosa-kata kosa-kata lama: geriliya, gerakan budaya, perlawanan. Sebab bagi mereka, keputusan sudah pasti: masa depan adalah masa lalu yang terus hidup. Mereka hanya hidup untuk masa lalu, karena masa depan mereka telah selesai oleh arus masa lalu yang dahsyat."
(Angin Sepanjang Musim, Neka Muhammad)

Aku tidak tahu pasti apa yang harus dicatat oleh para malaikat sebagai mimpi. Entah malam keberapa aku terjaga dalam minggu ini. Mencatat gelisah yang entah kapan bisa diselesaikan. Semoga engkau memaklumi ketidakmampuanku mengingat tanggal. Mungkin karena belakangan ini hari-hari dijalani dalam gerak repetitif. Begitu saja lewat. Tanpa ada yang bisa dipahatkan dalam sahaja kata. Sebenarnya aku bisa mengukurnya dengan sederhana. Jika cukup banyak endapan yang bisa diolah sebagai tulisan, itu tandanya waktuku tak terbuang cuma-cuma. Sebaliknya jika tak ada yang bisa kusajikan, pertanda waktu memang berganti tanpa arti.

Oh, sebentar, ada yang salah dengan paragraf yang kutulis itu. Bukan berarti aku tak melakukan apa-apa dalam hari-hari terakhir. Selain buku Goodwin dan Niebuhr yang belum juga kelar sampai sekarang, ada beberapa tulisan yang harus segera rampung dan disetorkan dua-tiga hari lagi, belum lagi proyek antologi cerpen yang harus segera 'dibersihkan'. Meski begitu tetap saja ada yang ganjil. Mereka tak salah jika bertanya apakah aku sakit, kenyataannya memang begitu. Tapi sungguh, lelah batin tak bisa ditebus dengan apapun. Mungkin ada, namun sampai sekarang aku belum menemukannya.

Sungguh aku ingin menulis puisi tentangmu. Semacam ringkasan percakapan yang dipadatkan. Toh pada mulanya sederhana. Sebagaimana Kitab Kejadian yang mencatat: Pada mulanya adalah Kata. Kita tidak bertemu dalam ruang yang salah, mungkin hanya waktu yang kurang tepat. Sebab itulah aku harus permisi, sejenak menarik diri membaca hati, agar nanti segalanya bisa pasti. Semoga engkau bisa mengerti, sudah terlalu sering aku mendengar orang-orang yang berbicara. Sayangnya mereka hanya menjadi busa dalam lorong-lorong sepi sejarah. Tentu bukan karena omong kosong. Mereka berbicara dengan nyala juga bara. Hanya saja mereka tak melakukan apa-apa. Apakah aku mengutuk mereka? Mungkin. Sebab aku tahu mereka sendirian. Lalu apa yang engkau tunggu? Sekutu-sekutu sudah tiba memikul mesiu siap menembakkan peluru. Maka jika nanti malah engkau sendiri yang pertama mengemasi mimpi yang pernah disepakati, akulah orang pertama yang akan mengutukmu jadi batu jadi abu jadi debu. Jahannam-lah engkau. Jahannam-lah.

Aku tidak sedang mengidap ketergantungan akut. Aku hanya sedang merindukan seseorang yang bisa menerjemahkan pikiran abstrakku ke dalam bahasa manusia. Sengkarut masa lalu adalah peti berisi kekayaan paling abadi. Sialnya hanya sedikit yang bisa membukanya. Maka jika engkau benar-benar hendak permisi, kutukan persimpangan yang menimpaku harus terjadi lagi. Bahkan dalam rentang waktu terlalu dini.

Kali ini aku tak (lagi) menawarkan diri. Cukup sudah aku mengais remah-remah waktu diantara padat gerakmu. Aku sudah terbiasa kehilangan. Meski aku tak cukup yakin apakah kali ini hal itu yang terjadi. Bukankah kita baru berhak merasa kehilangan jika benar-benar memiliki? Dan engkau bukan milikku. Engkau bukan milikku.

Sungguh aku ingin menulis puisi tentangmu. Tapi aku tak punya air mata. Sementara sisa doa sudah moksa entah kemana. Lekas pulang! Ibu menantimu. Setelah itu jangan pernah lagi menulis sesuatu untukku. Sebab masa depan sudah selesai. Aku hanyalah manusia biasa yang mudah larut dalam ramai.

Catatan
1. Cerita bertajuk Angin Sepanjang Musim karya Neka Muhammad ada dalam kumpulan cerpen Perjalanan Rembulan. Berisi karya-karya rekan-rekan di Serikat Buruh Kata, komunitas kecil yang bergerak dalam bidang literasi. Beredar terbatas di Kairo.

2. 'Aku tak punya air mata, sisa doa sudah moksa entah kemana' merupakan penggalan lagu (Blues) Luka Yang Tak Hapus oleh Mumu dan Musha. Lagu ini lahir beberapa hari pasca serangan Israel ke Libanon, menceritakan seorang pendosa yang tak bisa melakukan apa-apa untuk saudara-saudaranya yang sedang menderita di sana.

15 comments:

Anonymous said...

sudah lama tak ada komentar.
selalu tidak berkomentar.
kali ini ingin memberi komentar.

"memang... semakin lama kita diam, semakin cepat kita jadi abu dalam ada yang semu."

Anonymous said...

seseorang masih setia menantimu di sebuah persimpangan. semoga kau tak lupa jalan pulang.

Anonymous said...

menulis blues juga kah?

Anonymous said...

: kawan

I think I know you, siapa ya?

: sireum

Jalan masih panjang. Pulang? Entah kapan. Biar waktu menentukan.

: kutu

Blues? Mungkin.

Anonymous said...

"Sekutu-sekutu sudah tiba memikul mesiu siap menembakkan peluru."

Sahabat. Oh! Kau bisa membaca hingga saat huruf belum ditulis!

Anonymous said...

"Sekutu-sekutu sudah tiba memikul mesiu siap menembakkan peluru."

Sahabat. Oh! Kau bisa membaca hingga saat huruf belum ditulis!

Untuk berperang, aku tidak ditunggu sekelompok batalyon yang perkasa. Aku juga tidak ditunggu parade kavaleri yang megah. Untuk berperang, aku hanya ditunggu oleh peperangan itu sendiri!

Maka tanpa artileri, bahkan dengan sebatang hunus bambu runcing saja, aku akan berangkat. Dan puisimu, Sahabat, telah melebihi mantra bekal bersama nyawa!

-- terima kasih. saya sedang di halte. tunggu trem jurusan distrik delapan. turun di sana, saya cari angkutan ke distrik sepuluh. dari masjid, saya akan menyeberang ke distrik sembilan. sudah kamu siapkan perapiannya, bukan? sudah kamu dudukkan nyanyiannya, bukan? kita bakar kekerdilan dalam pesta api unggun, saling sulang prosa dan cerita. ah. seperti biasa :) hehehe. sekali lagi, terima kasih. tapi mungkin, saya agak terlambat datang :D --

Anonymous said...

lama kita tak lagi bicara, makin dahsyat angin dari barat !
ada apa kau disana, main anginkah ? atau bersulang badai,
dan menari-nari berbaju kata... aku tahu itu kita.

aku ingin bicara denganmu lagi, semoga setelahnya berarti.
kita duduk rambatkan malam di pojok hilaly, aku rindu!
rindu ketika kita belajar mencaci mereka... sebentar lagi!

Anonymous said...

Pada mulanya adalah Firman. hmmm itu jika Tuhan yang mengatakan, berhubung yang nulis blog adalah manusia, makanya Firman bermetamorfosa menjadi Kata.

Ada banyak cerita yang ingin dibagikan. Banyak sekali, sangat malah. Apakah kau masih ingin membacanya? Asal kau tahu aku bermimpi tibatiba entah Mingan atau Pangapora *aku lupa yang mana*, yang jelas salah satu dari mereka sms untuk menyampaikan pesan darimu. Wagu kan? Jelasjelas aku tak mengenal mereka. Mimpi itu sudah lama... sudah lama.

Bagaimana caraku bertemu denganmu? sementara YM, kita selalu mengakhirinya dengan pertengkaran. :)

ps: nama asal comot dari tulisan yang ada di dekat meja seorang kawan yang kupinjam kompienya buat onlen.

Anonymous said...

ada yang kangen tuh, makane cepet ndang mudik... :D
*alaghhhh
jangan lupa mampir kalo pulang, tak sangoni rokok Dji Samsoe sak slop deh.


Lekas pulang! Ibu menantimu.

Anonymous said...

: pangapora

"aku tak harus membaca kata, aku bisa membaca makna" (penggalan dari Liturgi Sendiri Pejalan Sunyi, Nanang Musha)

Om, udara Mesir bukan milik Neva ya? jika iya, mungkin hal yang sama akan terjadi kepada Musha.

: mingan

tak tunggu an, tak tunggu. tenan.

: WWR

*speechless*

: madu

apa sih jeng?

soal mampir, doakan aja urusan di Kairo cepat kelar. udah agak kangen dengan pekat polusi dan pekak bunyi Jakarta.

Anonymous said...

Mungkin cukup sesekali kutulis di sini. Tentang sebuah cerita. Kau tahu? Hari ini seorang kawan membawa gitar listriknya. Kami mau merekam sendiri lagu buat backsound. Kudengarkan lewat headphone sementara ia mendentingkan petikan gitarnya. OMIGOD. Betapa indahnya, betapa indahnya suara alunan itu memecah hening di sini. Ku ingat dulu aku pernah rindu berkumpul dan kongkow dengan kawan yang selalu ditemani oleh gelak, tawa, dendang dan denting petikan gitar.

Oia, Sabtu senja kami akan pulang ke Solo, aku ingin melunasi inginku dulu yang kandas ketika harus menjadi seorang buruh di kota ini. Sekalipun hari yang teramat padat dan Kamis ku harus kembali ke kota ini. Aku ingin melintasi rumahmu dan mengambil gambarnya untuk menutup rindumu barang sebentar. Ntah apakah semuanya akan tersurat di langit? *semoga* dan semoga kutemukan rumah itu karena semua catatan tentah arah ke rumahmu telah raib. Seandainya boleh, bersediakah kau memberikan arahnya (lagi)?

ps:
mengapa speechless? tentang YM atau ceritacerita yang selalu ingin kubagikan?

Anonymous said...

: FTFCR

Terima kasih untuk kesediaan berbagi cerita. Soal rumah, aku tak berani bersumpah. Bukankah kamu yang bilang ia terlalu mahal untuk diobral? Tunggu saja di kotak suratmu. Semoga satu dua hari ini bisa mampir untuk pinjam scanner. Oh, titip rindu buat kota itu ya.

Aku diam bukan untuk mendengar cerita. Aku diam bertanya-tanya, apa yang salah dengan pertemuan di YM? Ah, maaf jika gagal menjadi kawan bicara yang baik.

I'm okay. Trust me.

Anonymous said...

Ini sudah pukul 20.05 dan aku masih saja di ruang luas yang saban senin hingga jumat kujambangi. Lembur? Barangkali, karena besok vendor akan mengambil master yang sedang kubuat. Semoga selesai dengan baik.

Aneh mengapa kini bisa sekedar menyapa lewat komen blogmu? *milik umum pulak!* huh! Bukankah blogku relatif lebih 'aman' dan tak banyak orang yang tahu even kini aku tak pernah menjamahnya. Lebihlebih tidak ada linknya di blog kamu. Bwahahahahah untuk yang satu ini aku sangat bersyukur. Eniw, toh aku masih menikmatinya percakapan lewat blog ini.

Hmmm, ada samudera terimakasih untuk niatan menggambarkannya. Jangan lupa CC ke yahoo, kalaukalau aku sudah tak lagi akses dari sini. Tak usah janji. Aku pun tak tahu apakah bisa singgah ke sana, sekalipun ada kawan yang sudah bersedia menemaniku.

Ada gelisah yang menyelinap di sini. Apalagi 'infeksi' ini agaknya mulai kambuh. Semoga tidak sakit. Jangan sakit. Doakan Januari tahun depan aku masih dapat berada di sini. Atau setidaknya kelak ada orang lain yang dapat kusinggahi untuk belajar dan mendapat upah buruh darinya :)

ps: oneday kita pasti akan bersua lewat YM. Pasti. Bukankah aku adalah seseorang yang selalu memiliki oneday? Tolong jangan tinggalkan mesej di YM karena sudah hampir dua bulan aku tak pernah menyentuhnya.

Anonymous said...

: High Speed Color Print

Piye carane ngandani yen aku ugo melu lek-lekan? :)

Anonymous said...

He said: "Lalu apa yang engkau tunggu? Sekutu-sekutu sudah tiba memikul mesiu siap menembakkan peluru. Maka jika nanti malah engkau sendiri yang pertama mengemasi mimpi yang pernah disepakati, akulah orang pertama yang akan mengutukmu jadi batu jadi abu jadi debu. Jahannam-lah engkau. Jahannam-lah."

Apa BozZZ!!! Orang kita dah ngegawe Risol sejak pagi sampeyan ga nongol sampe sore... Kwakwakwak... :p