22 October 2006

Mencatat Batin: Darrasah - Gami'

Ini kali pertama aku pulang malam dari Darrasah. Belum Isya' memang, tapi langit sudah gelap. Kebetulan aku duduk di bangku paling ujung tepat di bagian belakang. Untuk bus dalam kota, aku selalu memilih bagian belakang, lebih-lebih seperti yang aku tempati saat ini, tepat di sisi jendela.

Ini kali pertama aku pulang malam dari Darrasah. Bus yang kutumpangi tak terlalu penuh. Masih ada beberapa bangku yang belum terisi ketika aku menyerahkan uang kepada kondektur. 50 piaster; harga yang murah untuk suasana semacam ini.

Kamu menyebutku pemburu senja. Padahal tak sepenuhnya benar. Aku pemburu suasana. Mencari ruang-ruang yang bisa membuatku merasa nyaman untuk istirahat. Maka ketika aku pulang lebih lambat dari biasanya dan mendapatkan bangku kosong di bus, genaplah pencarian untuk hari ini.

Naf, tentu saja aku tahu kamu tak pernah (atau sulit ya? Entahlah) setuju dengan apa yang lazim aku kerjakan. Aku juga tahu hal itu bukan karena apa yang aku kerjakan terlalu sulit. Justru sebaliknya, hal ini terlalu remeh bagi orang lain, termasuk kamu. Meski begitu, semenjak aku percaya bahwa hidup adalah pilihan, tak ada yang bisa mengintervensi apa yang akan aku lakukan. Bukan berarti aku tak bisa menerima masukan orang lain, hanya saja sebuah keputusan memang sepatutnya lahir dari diri sendiri. Soal pengaruh dari variabel lain di luar kita, rasanya boleh-boleh saja.

Seorang gadis Mesir naik dari pintu depan. Tak ada bangku kosong selain yang ada di samping lelaki Asia dengan jaket hitam, celana jeans, dan sepatu berbahan kanvas. Gadis itu tahu. Segera ia berjalan menuju bangku paling belakang. Lelaki Asia tersenyum. Entah untuk apa. Sebab matanya menerawang menatap bulan yang tak lagi utuh.

Naf, kamu lihat tidak bulan yang sedang kupandang? Jika tidak, apa yang kamu lakukan sekarang? Semoga aku tak salah jika mengira kamu sedang membaca diktat kuliah di tahun terakhir studimu. Atau mungkin sedang menekuni mushaf untuk menggenapi sekian kali khatam di bulan Ramadlan. Eh, itu terasa terlalu 'heroik' ya? Baiklah, semoga aku tak salah jika mengira kamu sedang berada di depan komputer, menjelajah dunia maya, berbincang lewat messenger, dan menulis sesuatu untuk di-posting di blog. Apa katamu? Aku terlalu meremehkan? Tidak. Sungguh tidak. Aku hanya sedang membayangkan kemungkinan. Itu saja. Ok, aku mengaku saja, dulu aku pernah under-estimated memandangmu. Tapi itu dulu. Ketika aku belum begitu serius membacamu. Penilaian boleh berubah kan? Ternyata palungmu lebih dalam dari yang aku taksir.

Naf, semoga kamu belum pernah mendengar cerita ini. Di Kairo, ada seorang lelaki dari negaramu yang selalu keluar rumah ketika bulan purnama. Aku sendiri kurang tahu kemana ia pergi. Pokoknya ketika bulan purnama kamu tak akan mungkin bisa menemuinya di rumah. Aku pernah menjumpainya di taman. Sesekali ia tampak di stasiun metro bawah tanah di kawasan Ramses. Bulan lalu ia ada di Tahrir. Selain melihat bulan, biasanya lelaki itu memegang buku, entah buku bacaan atau buku catatan.

Oia, mungkin perlu aku bilang dari mana aku tahu cerita itu. Begini, kira-kira setahun lalu aku bertemu lelaki itu. Tentu saja kami berkenalan. Nah, suatu hari dia mengajakku untuk ikut ritual melihat bulan. Tentu saja, untuk seorang yang masih mencari-cari sesuatu untuk ditekuni, tawaran itu cukup menarik. Maka terjadilah apa yang terjadi. Kami sama-sama menikmati bulan. Lama. Dari senja sampai dini hari. Saat itu pula aku bertanya, untuk apa dia harus menjalani ritual semacam itu? Bukankah banyak hal menarik yang bisa dikerjakan di Kairo? Kamu tahu apa yang dia bilang? Manusia butuh refleksi, demikian jawabnya.

Naf, meski kemampuan menghafalku sangat pas-pasan, tapi untuk mengingat poin-poin penting perbincangan kita tak terlalu sulit. Setidaknya aku ingat ketika kamu bilang bahwa saat ngobrol bersamaku, kamu tak pernah nyambung. Tunggu, aku tidak sedang ingin menunjukkan bahwa aku lebih cerdas darimu. Sungguh tidak. Lagipula sudah jelas bukan bagaimana posisi aku dibanding denganmu? Kamu menulis, aktif di banyak organisasi, pernah terlibat dalam sebuah kelompok kajian ekslusif, studimu lancar. Begitu banyak kebaikan yang ada pada dirimu. Sedangkan aku? Tak lebih dari lelaki biasa yang datang ke Kairo untuk menambah prosentase ketidaklulusan mahasiswa Indonesia. Menulis? Aku tak seserius kamu. Maka ketika mereka mempertanyakan sejauh mana eksistensiku masuk akal untuk berada di Kairo, aku sungguh kehilangan kata untuk menjawabnya. Mungkin manusia hanya butuh waktu untuk sebuah jawaban. Maka ketika aku bercerita kepadamu tentang 'kartu' dan kamu bisa menjabarkan itu dengan baik, itu adalah titik terang untuk sebuah pencarian. Mungkin manusia hanya butuh waktu untuk sebuah keputusan. Begitu pula aku, yang akhirnya merasa ada hal lain yang bisa dikerjakan selain menjadi lelaki yang menikmati wajah rembulan.

Manusia memang butuh refleksi. Tapi semua orang datang dan bilang mereka tak butuh wacana, mereka hanya ingin aksi nyata. Semula aku percaya itu, namun beruntunglah mereka yang terasing. Setidaknya aku punya argumen untuk menjawab serangan mereka. Kamu tahu apa yang aku bilang? Kataku, justru kalian orang-orang yang malas berfikir. Dan mereka mencak-mencak. Mereka bilang aku hanya hidup dalam dunia imajiner yang aku cipta sendiri. Ah, yang pasti aku bukan Tuhan. Tapi jika alam imajiner itu memang ada, jelas bukan aku yang menciptakan itu.

Gadis Mesir yang tadi duduk di samping lelaki Asia turun. Sudah sampai Sabrowy. Bus hampir kosong. Selain sopir dan kumsari, hanya ada beberapa penumpang di bangku depan. Eh, gadis Mesir itu melempar senyum kepada lelaki Asia. Lelaki itu hanya diam. Matanya masih menerawang menatap bulan yang tak lagi penuh.

Seorang kawan di Bandung pernah menulis kalimat ini, sebelum merubah dunia engkau harus merubah dirimu sendiri. Aku mencoba mempraktikkan apa yang dia sarankan. Meski tak mudah. Jika engkau menuduhku sebagai orang yang gampang menyalahkan kondisi, rasanya engkau salah. Walau begitu aku mengaku sering gagal berkompromi untuk sesuatu yang menurutku prinsipil. Maka maafkan jika selama ini aku sering membuatmu merasa kurang nyaman. Aku tidak sedang ingin menjadikanmu alter-egoku. Sama sekali tidak. Aku hanya ingin berbagi. Itu saja.

Bus berhenti di mahattah Gami’. Seorang lelaki Asia dengan jaket hitam dan celana jeans turun. Usai menyeberang jalan, kepalanya menengadah ke atas. Dilihatnya bulan yang tak lagi utuh. Lelaki itu tersenyum. Entah untuk apa. Entah untuk siapa.

Naf, terkadang orang yang melakukan kesalahan hanya butuh kesempatan. Beri aku waktu untuk berbenah diri. Beri aku waktu untuk berbenah diri. Hanya itu yang aku minta darimu saat ini. Ya, saat ini.

CATATAN:
  1. Darrasah, nama terminal bus terdekat dari kampus lama Al Azhar.
  2. Piaster atau Qirs; pecahan terkecil mata uang yang berlaku di Mesir. 1 Pound Mesir = 100 piaster. 1 Pound Mesir bernilai sekitar 1600 rupiah.
  3. Beruntunglah mereka yang terasing, seingatku ada riwayat hadis semacam itu. Sayang aku belum memeriksa validitas statusnya. Ada yang bisa membantu?
  4. Kumsari, kondektur bus.
  5. Mahattah, tempat pemberhentian bus a.k.a halte

2 comments:

Anonymous said...

Setiap kali ingin melepaskan apa yang ada di dalam benak. Aku hanya mampu menatah kalimatkalimat itu sepanjang perjalanan 1,5 jam hingga 2,5 jam pulang di alam lamunan dalam hari ke hari. Seandainya memiliki waktu lebih, maka aku lebih memilih untuk pulas tertidur. Tapi saat libur kemarin waktu seakan memberiku bonus untuk berada di negeri lelap. Apalagi ketika perjalanan pulang Jakarta-Solo yang sedemikian rakusnya memakan waktu 20 jam! Kontras dengan Jumat malam yang mengharuskan berada di ruang lapang yang penuh dengan unitunit komputer hingga pukul 22.00. Pejamkan mata untuk 2 jam setelah menguras peluh mempelototi SyncMaster 793MG, namun sesampai di rumah setelah usai 2 jam terlelap kembali aku pun memandangi SyncMaster 793s dari pukul 02.00 hingga pukul 15.00 di hari Sabtu. Aku tahu sudah lama ada yang tak beres di mata ini. Terutama bila membuat garis lurus seringkali tak akan pernah lempang sepenuhnya. Barangkali juga karena terlalu lama di depan benda kotak bertabung. Dan benar adanya -0,75 silindris untuk keduanya.

Kita tak kan pernah tahu dengan hari esok. Biarlah esok mempunyai kesulitannya sendiri. Yang pasti harihari adalah jahat! Jangan lengah! Meskipun demikian aku harus ucapkan syukur bahwa Tuhan masih menopang tanganNya atas kehidupan kami. Betapa tidak, Tuhan hanya ijinkan kecelakaan kecil, bukan kecelakaan yang besar. Itu terjadi hampir tengah malam di sebuah TOL dalam kecepatan lebih dari 110 km/jam. Seandainya yang mengemudikan mobil kami seorang ibuibu maka besar kemungkinan akan membanting stir ke kanan dan… ntah bagaimana dengan nyawa kami. Jika Tuhan masih ijinkan untuk menikmati hari esok. Pasti masih ada 'tugas' yang harus diselesaikan.

Malam ini ada konflik (lagi), aku tak tahu bagaimana harus menata hati ini. Ada beberapa pesan singkat yang sengaja kulemparkan pada kawan. Sekedar membuat lega? Barangkali. Yang jelas suara earphone mengalunkan lagu yang sama "Aku Akhiri".

Kalau kau tanya, "Gelisahkah aku?"
"YA!"
Batin mulai teriris… sekalipun mata masih kering. Aku sudah tahu sejak awal ada yang tak beres. Sekalipun katakata tak pernah terlontar. Sudah terbaca sorot mata miliknya. Terbaca lakunya. Terbaca semuanya dalam diam. Sudah lama aku belajar membaca dalam diam. Dan ada amarah atau gelisah sebelum semuanya itu meletus. Aku tahu. Aku tahu.
Seandainya boleh ingin AKU AKHIRI.

Esoknya aku mencari kost sekitar sini.
“Yakin dengan keputusanmu?” Tanya seorang kawan yang menemaniku cari kost usai kerja.
“Setidaknya aku melihat dulu nuansanya…”
Malamnya aku sengaja menunggu kakak hingga larut. Phhuuuiiifff detikdetik jelang menunggu. Tibatiba aku merasa penuh. Ada seseorang yang sedang menunggu dan ditunggu. Lalu bercerita tentang kejadian hari ini dengan penuh canda. Setidaknya itu bisa membuat ‘teman’ buat kakak. Dan aku tahu kakak sedang butuh teman untuk melewati masamasa beratnya dan rasanya gak adil bila tibatiba aku memutuskan kost… .

ps: menulis di opis ga tenang euy! Ada kawan yang kemarin menemani cari kost sempat mempergoki diriku tentang apa yang ditulis ini. *duh tengsin*.

Anonymous said...

You site verys nicers. Thanks ownersa.