21 October 2006

Apa Kabar Ma?

"Neva. Ayolah kita segera mulai lagi perjalanan. Udara Mesir ini bukan milik kita; buaian yang hanya akan mengajak tidur dan mengubur tujuan sesungguhnya masa lalu kita."
(Angin Sepanjang Musim, Neka Muhammad)

Tentu aku mencoba ingat pertemuan-pertemuan singkat yang tak sempat kita catat. Hari-hari yang sarat akan gelisah. Sepatutnya engkau tak terlalu merasa asing dengan sosok ini; lelaki yang sering menghabiskan waktu di balkon dengan buku dan cangkir kopi. Sesekali pula ia merokok sembari menghitung hari yang sudah dilalui. Jika engkau bertanya apakah dia kesepian, aku dengan pasti bilang tidak. Aku memang bukan lelaki itu, tapi tak semua orang yang menghabiskan malam di balkon berteman buku dan cangkir kopi adalah manusia kesepian. Apa salahnya jika memilih sendiri saja? Bukankah menjadi asing bukanlah dosa? Ah, aku lalu teringat sebuah riwayat yang belum pernah aku periksa ulang status ke-valid-annya. Riwayat itu bilang; beruntunglah orang-orang yang terasing. Sungguh sebuah hal yang sulit diterima oleh logika sempitku ketika orang-orang yang terasing justru beruntung. Meski begitu, ada satu jawaban yang sempat terlintas di kepala; mereka beruntung karena mereka sadar. Oh! Tidak! Lupakan kalimat tadi. Lupakan.

Aku sepakat, kesadaran adalah kutukan. Seperti halnya yang terjadi pada beberapa kawan yang semula tertawa ngakak-ngakak namun esoknya menangis tersedu-sedu setelah tahu bahwa dia rasib. Nah, bukankah kesadaran adalah kutukan? Sementara mereka masih sempat melakukan hal-hal yang sama sekali tidak membuat eksistensi mereka menjadi masuk akal di dunia, kita di sini (iya ma, di planet yang sama dengan planet yang mereka huni) harus gelisah entah untuk apa entah untuk siapa.

Lalu aku ingat bahwa semua manusia masih merindukan surga. Tentu saja kita bukan tak percaya. Hanya realita di depan mata yang membuat kita menganggap itu (semacam) utopia, sebagaimana harapan manusia untuk menjadi sempurna. Utopia itu masih ada, seperti mimpi sederhana yang tak harus disepakati bersama. Aku dan kamu, kita mengejar utopia itu. Meski harus terasing dari yang lain. Aku dan kamu, kita mengejar utopia itu. Sekedar mencoba untuk percaya, bahwa kita tak (pernah) benar-benar sendirian.

Catatan:

1. Ngakak-ngakak (Jawa). Bahasa Indonesia punya padanan pas, terbahak-bahak. Tapi saya memang lagi mood menggunakan istilah ngakak-ngakak. Kok rasanya lebih asyik.

2. Rasib (Arab) harfiahnya orang yang gagal. Lazim digunakan untuk menyebut orang yang tidak naik tingkat di tempat saya kuliah.

1 comment:

Anonymous said...

Jangan pernah usik tidurku

lembayung senja tak pernah kudapati
aku takkan menyesal
karena dalam tidurku aku masih sadar
warna merah tua takkan pernah hilang meski aku tak ada.

tidurlah bersama senyuman.