22 October 2006

Menyusulmu

: Ibnu Syam

Kira-kira kapan aku menyusulmu ke sana? Hari ke berapa sampai di sana? Aku ingin rebah di pelukan mamah. Sebab Kinanah terlalu jahannam untuk mengaku kalah. Di sini tak ada puisi seperti di negeri kita. Di sini tak ada hujan --ah, negeri kita juga sama belakangan ini-- yang menyuburkan kata-kata.

Aku baru nyadar, diam-diam aku tak mampu lagi menulis puisi. Mungkin sejak aku tak lagi merasakan ekstase oleh paduan ricih air dan tajam aroma tanah basah selepas panas. Benar, aku tak ragu lagi, sungguh aku tak mampu lagi menulis puisi. Padahal entah berapa sajak tertinggal di tempat yang dahulu pernah aku singgahi. Catat ini, berapa puluh di sela-sela batu nisan Bonoloyo. Berapa puluh di kamar Gerbong. Berapa puluh di Terban. Berapa puluh di Sapen. Berapa puluh di Ciputat. Ah, mengapa pula dulu aku berbalik arah. Malah menulis cerita dewa-dewi juga kisah tentang ksatria dan tuan putri. Jahannam pula aku. Penjahat kecil yang mencoba alih kasta. Tetap saja mereka borjuis kecil yang mengaku pejuang progresif-revolusioner. Bah! Jahannamlah sebuah cita-cita. Aku lapar. Mereka juga. Tapi aku tak punya uang. Aku tak menghasilkan apa-apa di sini. Mereka? Sudahlah. Mereka terlalu kenyang sehingga bingung cari kegiatan. Tak salah bukan jika aku enggan ikut-ikutan?

Hey! Sudahlah. Berhenti ceramah. Kamu lupa ya? Chairil sudah tiada. Aku tahu itu sejak kutemukan dia tergeletak di lapak buku ngisor ringin alun-alun utara. Tak usahlah memaksakan diri jadi ksatria. Nanti terbunuh kamu dihajar keruh. Sungguh.

Kira-kira kapan aku bisa menyusulmu ke sana?

Oh satu lagi, memang ada ya buah simalakama? Yang bisa membuatmu bingung memilih siapa yang harus terbunuh.

p.s: Wis tilik pondok durung bos? Mampir omah-lah yen awakmu longgar. ^ ^

1 comment:

Anonymous said...

sent:
10:33:55pm
4 Jul 2006

tiba-tiba aku lelah diperkosa waktu yang tak letih menjilati tubuh lemahku.
ah, beri aku damai yang itu, beri aku damai yang dulu.


*kairo memang dan**k ya ...*