25 September 2006

Tadarus Rindu (Bag. 2)

: untuk W

Sudah malam ketiga Puasa. Apa yang sedang engkau kerjakan sekarang? Aku merindukan puisimu. Mengapa tak ada yang bisa kunikmati hari ini?

Aku percaya engkau tetap mengumpulkan kata-kata yang kau temukan dalam perjalanan. Hanya saja sesuatu telah membuatmu tak bisa menitipkannya di sebuah ruang yang akan terlihat oleh siapapun. Aku masih ingat ketakutan saat memungut kata jadi puisi; itu semacam penelanjangan diri. Sampai sekarang aku masih percaya. Puisi adalah kunci untuk masuk ke dalam lorong-lorong paling rahasia penulisnya. Maka ketika membiarkan orang lain membacanya, tak ada yang bisa disalahkan ketika terjadi hal-hal yang tak kita inginkan.

Ah, betapa menjemukan berdebat tentang siapa yang paling kuasa menangkap makna. Meski aku tahu hal itu yang membuatku gelisah oleh pertanyaan. Kita tidak berbicara dengan bahasa manusia. Kita berbicara dengan bahasa puisi. Sungguh lazim bukan jika engkau menerjemahkan apa yang tertera dengan alam pikirmu sendiri? Begitu juga aku yang ragu dan bertanya, apa benar ucapan selamat itu untuk aku?

Betapa tidak menyenangkan ketika harus kecewa. Tapi haruskan aku bertanya kepadamu; siapakah yang ada dalam puisimu? Sekali lagi aku menjadi orang bodoh. Sekali lagi aku menjadi orang bodoh.

Aku tak ingin menyalahkan siapapun, diriku sendiripun tak. Aku hanya ingat pada 'pertemuan-pertemuan' awal setelah aku berangkat, kita menjadi gagap untuk berbicara dengan bahasa manusia, tanpa kiasan tanpa metafora. Semoga saja engkau tak benar-benar aku; yang selalu gagal mengartikulasikan gagasan lewat lisan, sehingga harus menunggu perasaan mengendap, baru menyampaikannya lewat tulisan.

No comments: