02 September 2006

Bie, Aku Rindu Mereguk Kasih-Mu

Bie, mengapa hari-hari jadi begitu sepi belakangan ini? Diantara gemuruh suara dan gerak manusia tetap saja kurasakan kekosongan. Aku rapuh tanpamu Bie. Meski aku sadar sunyi itu kuciptakan sendiri melalui daya imaji yang tak lagi terkendali. Melahirkan bayangan-bayangan ganjil yang berkelabatan dalam jejaring ingatan. Mereka bergerak begitu liar namun meninggalkan jejak-jejak abadi di lorong-lorong hati. Begitu riuh begitu gaduh. Semacam komposisi musik yang dilahirkan oleh beragam instrumen. Suara-suara yang saling sengkarut tumpang tindih menawarkan keragaman citraan. Sementara lantunan gelombang polifonik itu tak mampu diserap inderaku. Rasanya terlalu mewah untuk kunikmati sendirian saja. Tapi disini tak ada orang lain Bie. Hanya ada aku dan Kamu saja. Dan aku sedang mengingat-ingat bagaimana cara jatuh cinta.

Engkau tahu aku tidak sedang main-main kali ini Bie. Sudah lama aku menghapus kata paling purba itu dari kamus ingatanku. Mungkin sejak aku terlarang menyemai perasaan kepada sesuatu selainMu. Ah, siapa pula yang berhak melarang seseorang jatuh cinta? Aku sendiri Bie, aku sendiri yang menciptakan terali imajiner untuk meredam syahwatku yang masih liar.

Bie, kemarin aku bertemu perempuan. Tentu saja kami berbicara tentang banyak hal; termasuk masa depan. Ah, seharusnya aku tahu berbicara tentang kemungkinan-kemungkinan akan membuat manusia selalu kesakitan. Aku tak tahu apa yang dia rasakan saat itu. Yang nyata aku mati kata mati rasa seusai bicara. Bie, jika Kamu berkenan; tolong sampaikan pesanku kepada perempuan itu; aku memang terlalu pengecut untuk menjanjikan sesuatu.

Oia Bie, jika perempuan itu ingin mengutukku; bilang saja iya. Kupikir itu balasan yang setimpal untuk bajingan kecil sepertiku. Bilang saja iya Bie, bilang saja iya.

No comments: