18 May 2006

Tanpa Judul - 180506

Tiba-tiba malam ini kamu ingin keramaian. Setelah terhisap dalam histeria akut pendukung Barca kau bergerak menjelajahi ruang gelap di pojok apartemen. Mereka menyebutnya gudang. Tapi mereka tak tahu, di tempat itu Tan Malaka berlari diantara hutan dan semak belukar menggendong Madilog. Kemudian Ibnu Hazm mencatat patah hati yang menyerangnya berulang kali. Ibnu Rusyd melukis puisi-puisi sesaat sebelum datang Al Ghazali yang menawarkan secangkir kopi.

"Nak, aku percaya engkau belajar,"

Tok...tok...tok...
Dari balik pintu sosok bertopeng hitam datang. Bukan penjahat, ia kawanku juga. Seorang Zapatista dengan topi pet hijau dan pipa di mulut.

"Permisi. Aku numpang mencatat mimpi,"
"Oh, silahkan. Bagaimana kabar kawan-kawan Chiapas?"

Sub diam. Ia meraih notes di meja juga pena. Melawan dengan kata, ucapnya.

Dari kamar sebelah Sayyid Quthb datang. Ia lagi frustasi. Enggan menulis lagi. Menurutnya kata-kata sudah tak lagi berguna. Cukup sepucuk pistol, beberapa butir pelor dan suara dor. Kamu tak percaya. Manusia perlu dibangunkan. Ini semacam penyadaran. Bukan soal darah.

Quthb permisi. Hendak menulis lagi. Beberapa menit kemudian ada pesan singkat masuk: Quthb mati di tiang gantungan

Diam-diam kamu menangis. Semacam kehilangan. Lalu Bapak datang membawa amplop putih. Bapak hanya bertanya, "Butuh apa?"

Kamu lagi butuh senjata. Bapak baru punya satu setengah juta.

Hari sudah pagi tapi aku masih bermimpi.

No comments: