27 December 2006

Solilokui Menjelang Pergi

: untuk kawan baik

Entah malam yang mana engkau terjaga. Di langit kulihat bintang-bintang menciptakaan citraan yang entah akan engkau baca sebagai apa. Tentu ada bulan meski hanya sepenggal. Aku tahu itu sudah cukup untukmu yang enggan menuntut terlalu banyak dalam hidup. Rokok kretek di sela-sela jemariku tinggal separuh. Bungkusnya sudah kuremas dan terbuang di sudut ruang. Tiba-tiba saja aku ingat omonganmu dulu. Katamu hidup ini seumpama pijar rokok yang menjalar sebentar lalu segera mengabu jadi debu. Tapi hidupmu tak singkat. Setidaknya menurut ukuranku. Seingatku sudah dua puluh tahun lebih engkau terkutuk sebagai manusia yang gelisah. Eh, sebenarnya dua puluh bukan bilangan yang tepat. Tapi aku tak tahu sejak kapan engkau mengerti arti sadar. Anggap saja angka itu semacam generalisasi atas sesuatu yang sukar disepakati.

Kesadaran adalah kutukan. Kalimat itu yang pernah engkau tulis sebagai kalimat pembuka surat yang tertuju kepadaku. Tak ada yang salah jika aku meminjamnya sebagai kalimat awal di paragraf kedua. Aku tidak sedang main-main dengan kata. Aku hanya mencoba bersepakat bahwa kesadaran adalah kutukan. Seringkali engkau terjaga di tengah malam, memperhatikan langit yang engkau baca entah sebagai apa, mencoba menjawab pertanyaan yang datang entah darimana entah untuk siapa. Jika aku mengambil kesimpulan bahwa engkau manusia yang gelisah, semoga saja aku tak salah. Engkau bukan penjahat. Setidaknya engkau tak pernah bercita-cita menjadi penjahat. Maka jika malam-malam dilalui dengan kegelisahan, sudah pasti ada yang salah di sini. Dari suratmu aku bisa membaca ada apa di balik wajahmu yang kuyu. Sungguh terberkatilah mereka yang sadar.

Baiklah kawan, setiap orang menempuh perjalanan hidupnya sendiri. Titik yang engkau pijak saat ini adalah hasil dari apa yang sudah engkau tempuh. Karenanya, sungguh wajar ketika orang-orang di sekitarmu merasa ada sesuatu yang berbeda pada dirimu. Setiap orang hidup dan terbentuk, entah dengan kesadaran atau tak, oleh pengalaman masing-masing. Aku lebih senang menyebut ‘sesuatu yang berbeda’ dengan istilah keunikan. Engkau menyebutnya keanehan, padahal sama sekali tak ada yang aneh. Berbeda adalah wajar, itu yang bisa kita baca dari dunia sekitar. Lantas saat ini tiba-tiba saja engkau mengeluh, duniamu sudah tak nyaman lagi untuk engkau tinggali. Ah, mengapa engkau tak bersabar sebentar? Setahuku tak terlalu berat bagimu untuk beradaptasi. Aku masih ingat betul masa-masa sulit yang kita jalani bersama. Saat itu, kamu adalah satu dari beberapa alasan untukku melanjutkan hidup. Semoga kamu tak lupa.

Engkau bertanya kepadaku, jika terjebak di sebuah gang buntu, mana yang dipilih: berbalik arah lantas memutar atau melompati pagar? Seandainya aku ada di dekatmu sekarang, aku akan bertanya tentang kondisi gang buntu itu. Terlalu banyak variabel yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan, dan engkau tak menyebutkan semuanya. Hmm, bagaimana jika kita sepakati saja: memutar berarti mencari titik aman. Konsekuensinya waktumu lebih banyak terbuang. Sementara melompat pagar berarti mengambil resiko lebih besar, meski keuntungannya jelas: waktumu tak terpangkas.

Dua opsi yang ada sama-sama punya resiko. Bahkan jika engkau memilih untuk berbalik arah lalu memutar. Begini, adakah jaminan bahwa jalan yang engkau pilih lebih aman? Memang engkau sudah pernah melaluinya, engkau hafal betul setiap bagian-bagian yang pernah dilewati, namun siapa yang menjamin semuanya akan baik-baik saja. Bisa saja sekian detik setelah kau lewati keadaan berubah. Bisa saja kau yang merasa aman melintasi jalan A, seketika dikejutkan oleh kelompok demonstran yang sedang bertikai dengan polisi. Bisa saja anjing tuan B yang sering menyalak di balik gerbang terlepas dan mengejarmu. Bisa saja lapak buku C tempatmu nongkrong sudah tutup. Bisa saja ada perbaikan jalan yang menghambat perjalananmu. Bisa saja...

Lantas kamu memilih untuk melompat pagar. Bahkan jika kau bisa untuk memanjatnya, tak ada jaminan posisimu aman. Bisa saja engkau harus terjatuh berulangkali karena tembok (atau pagar?) yang kau panjat terlalu tinggi. Bisa saja tanganmu terluka karena kawat berduri atau pecahan kaca. Bisa saja kakimu patah karena mendarat di tanah dengan posisi salah. Bisa saja orang-orang meneriakimu dengan kata-kata maling dan kau digebuki. Bisa saja...

Selalu ada harga yang harus dibayar untuk sebuah keputusan, begitu yang pernah kudengar dari seorang kawan sangat baik. Aku tak akan menjawab pertanyaanmu. Lebih baik engkau bertanya pada hatimu sendiri. Bertanyalah pada nuranimu, begitu bukan yang disabdakan oleh Nabimu? Sebab itu kumaklumi keputusanmu untuk sejenak menepi beberapa waktu kemarin. Toh saat ini kau sudah kembali, menemui kawan-kawanmu dan mengerjakan hal-hal yang sempat terlantar. Maka kuucapkan selamat. Tentang jalan mana yang hendak engkau ambil besok, sepatutnya engkau sendiri yang memutuskan, dengan atau tanpa pertimbangan orang lain. Bukankah hanya dirimu sendiri yang mengerti akan apa yang hendak kau perjuangkan dalam hidup? Sepahit apapun kenyataan yang lahir nanti, setidaknya ia ada karena pilihanmu sendiri. Itu saja.

Eh, sebelum permisi aku hendak bertanya; apa bedanya menyepi dan melarikan diri? He...he... aku ingat Jokpin menjawabnya dalam kumpulan bertajuk Telepon Genggam. Buku bersampul hitam itu masih ada padamu bukan? Jika tidak, jawablah dengan pikiranmu sendiri.

No comments: