14 November 2006

Aku Ingin Engkau Tersenyum

Aku ingin engkau tersenyum. Dia juga. Meski aku tahu bahwa senyum dalam waktu bersamaan tak musti kesejiwaan. Masih ingat cerpen yang aku kirim untukmu? Di sana ada adegan di mana seorang lelaki tersenyum setelah membeli setangkai mawar dari bocah kecil. Nah, bocah itu juga tersenyum bukan? Sementara lelaki itu tersenyum karena bunga itu mengingatkan dia akan peristiwa masa lalu, si bocah tersenyum karena uang itu bisa digunakan untuk mengganjal perut lapar.

Aku ingin engkau tersenyum. Dia juga. Meski aku tahu itu tidak mudah. Seperti Seno aku bertanya, terbuat dari apakah kenangan? Tentu aku tak tahu. Mungkin dia juga. Tapi seberapa penting untuk tahu asal sesuatu? Bukankah kepingan puzzle yang hendak kau genapkan sekarang datang entah dari mana entah karena apa? Maka izinkan aku menghadirkan dirimu dalam ruang pikirku. Mungkin tak lama. Sebentar saja. Sampai aku yakin bahwa engkau sudi tersenyum lagi.

Tak usah bertanya mengapa. Sebuah alasan tak musti membuat sesuatu lebih baik. Dia benar, yang pasti di dunia ini adalah ketidakpastian.

Aku ingin engkau tersenyum lagi. Dia juga.

p.s Tadi aku diam, sebab senja mengingatkan aku akan kematian.

1 comment:

Anonymous said...

Aku yakin kamu menulis ini bukan dalam rangka menggugurkan 'kewajiban' merangkai 2000 kata per hari.
Maka ijinkan aku kembali menunduk takzim, haru menyelimuti hati. Lagi.

Kuulangi, setiap gojekan tak bermutu itu, meluruhkan sebagian bebanku. Jadi jika kau ingin aku tersenyum lagi kau harus menemaniku nggojek seharian [Hayoo wani po ra?].

Nanti teka-teki itu akan kuselesaikan. Pasti.