22 August 2005

Melapangkan Hati

Semestinya kita sadar, bahwa manusia tak akan pernah lepas dari dosa. Sungguh sayang, jika seseorang tak lagi di-manusia-kan hanya karena dia pernah melakukan salah atau dosa di masa lalu. Akan lebih bijak jika kita tidak menempatkan seseorang yang pernah melakukan khilaf pada tempat terendah. Bukankah kita manusia juga?
Saya sadar, sungguh sadar bahwa kita juga memiliki perasaan. Sebuah interaksi tak selalu meninggalkan kenangan manis. Adakalanya meninggalkan luka yang membekas. Bahkan sulit disembuhkan. Namun akankah berhenti pada titik itu? Sehingga luka tadi tanpa kita sadari berubah menjadi benih-benih kebencian dan suatu waktu menjelma serupa badai. Menghancurkan ikatan-ikatan yang pernah terjalin. Melebur segala yang ada. Hingga yang tersisa hanya luka. Luka yang abadi.
Mengapa tidak kita coba saja. Menjadi lebih bijak dengan memberikan maaf pada mereka yang khilaf. Agar dunia ini tidak hancur oleh badai yang kadang kita tanam tanpa sadar. Dalam hal semacam ini, melapangkan hati takkan membuat kita mati.
Saat menulis ini, saya pribadi sama sekali tidak berpretensi untuk memberikan legalisasi untuk sebuah kesalahan. Sama sekali tidak. Kesalahan tetap kesalahan. Dan kita mesti berupaya sekuat tenaga agar tidak terperosok di dalamnya. Walau terkadang masih jatuh juga. Karena kita hanya manusia. Bukan dewa atau semacamnya. Sangat wajar dan justru lebih manusiawi jika dalam melangkah kita pernah salah arah. Tersesat dalam gelap hingga tanpa disadari kita terperosok dalam lubang atau tergelincir dalamnya jurang.
Satu yang perlu direnungkan, apakah kita malah mengutuk mereka yang terantuk. Membunuh mereka yang terjatuh. Apakah kita sudah begitu mulia. Seakan kita tak pernah melakukan salah. Sementara kita tahu, kita bukan dewa ataupun makhluk setengah dewa. Maka akan lebih indah jika kita bisa melapangkan hati, memberi sedikit ruang untuk sebuah maaf, menggusur ruang kebencian lalu membangun ruang perdamaian.
Selayaknya kalimat ini selalu terpatri dalam diri: melapangkan hati takkan membuat kita mati.

Salam cinta,

Nanang Musha
( seribu terima kasih untuk seorang kawan di Jogja, sepercik airmu basahi kering bumiku… )

No comments: