15 August 2005

Aku Masih Merindukanmu

Kejahatan apa lagi yang telah menyapamu kawan? Bukankah lukamu tak terlalu dalam. Sementara keberadaanku di sini menjadi bukti bahwa ikatan-ikatan terkadang menyakiti. Mereka melemparkan kita dalam labirin kenangan menyesatkan. Kita berjalan. Terus berjalan. Berjuta hirup nafas teriring. Berlaksa tetes keringat mengalir. Tanyaku: "Di mana pintu?".
Ini bulan ke 9 semenjak kita berpisah. Tak tinggal serumah. Aku masih merindukanmu. Masih saja seperti dulu. Tapi kenangan itu menyesatkan. Sering aku berkunjung ke rumah lama, berharap menemukan remah-remah yang tercecer dari kebersamaan kita. Sebegitu sering, hingga menimbulkan keanehan tersendiri di mata penghuni. Aku sadar. Mereka lebih berhak atas rumah itu. Aku hanya tamu. Namun tidakkah mereka tahu bahwa aku pernah tinggal di rumah itu? Menulis episode-episode kehidupan di dalamnya?

Mungkin mereka tak mengerti, betapa ruang-ruang itu menjadi saksi akan setiap laku kita. Seandainya mereka bisa merasakan betapa dinding-dinding kamar turut bersyahadat pada tahun pertama bekerja bersama. Dan aku, aku yang telah berkhianat kepadamu kau minta berada di depan. Kupikir ini gila. Tapi apalah arti pikiran orang gila dihadapan kalian. Kalian masih ingat saat terakhir bekerja? Malam itu, bulir-bulir keperakan mengalir dari sudut mata ini. Begitu bangga. Begitu bahagianya aku menjadi bagian dari kalian. Dan kalian mengucapkan hal yang sama. Malam itu penyucian dosa. Saat malaikat rahmat turun memeluk kita. Dalam jabat erat dan peluk hangat sekali lagi kita bersyahadat: kami sahabat.

Ah, baru ingat sekarang. Waktu aku terjatuh. Sungguh-sungguh jatuh. Tidak main-main. Kau bilang aku ini bangsat. Betapa bangsatnya karena menghancurkan bangunan yang kita garap bersama. Tak masalah buatku. Selama ada percaya itu. Masih ingat bukan? Atau kau perlu sesekali menengok kelas, mungkin masih ada satu dua yang membekas. Kubilang mungkin, karena aku hampir tak pernah kesana. Barangkali kalian bertanya-tanya bagaimana aku masih terus mengingatnya? Sederhana saja, karena semua kurekam di relung hati yang terdalam. Semua. Tak satupun yang lewat.

Aku masih merindukanmu. Kalian juga. Tetesan-tetesan pelajaran yang aku dapat selama perjalanan itu begitu berarti buatku. Aku begitu percaya bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik. Untuk itu kucoba menyerap setiap tetesnya agar subur darah yang mengalir di nadiku. Bukankah darahku darahmu juga?

Dulu saat kita berpisah, rasanya tak benar-benar kehilangan. Aku tahu ini bukan mimpi. Merupakan kenyataan bahwa kau tak lagi disini. Tapi aku tak benar-benar kehilangan. Entahlah. Aku begitu yakin bahwa ikatan batin tak mudah mati. Selama kita rajin menyiramnya, memberi pupuk, membersihkan dari hama pengganggu. Begitulah. Tak perlu ada keluh kesah.

Aku masih merindukanmu. Kalian juga. Adakah sama rasa kita??

( Dirangkai pada perjalanan Jakarta-Solo setelah menjalani hari-hari yang paling melelahkan sekaligus paling berkesan dalam hidup. Naskah asli surat ini masih tersimpan pada catatan harian penulis. )

No comments: